A. Pengertian Rasm al-Qur’an
Rasm berasal dari kata rasama, yarsamu, rasman, yang berarti menggambar atau melukis. Kata rasm ini juga biasa diartikan sebagai sesuatu yang resmi atau menurut aturan. Jadi rasm berarti tulisan atau penulisan yang mempunyai metode tertentu. Adapun yang dimaksud rasm dalam makalah ini adalah pola penulisan yang telah diakui dan diwarisi oleh umat Islam sejak masa Utsman, yang biasa dikenal dengan mushaf utsmani.
B. Sejarah Perkembangan Rasm al-Qur’an
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antar satu dengan yang lainnya. Mereka mencatat wahyu Al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Ali Al-Shobuni membagi kedalam dua masa tentang pengumpulan dan penulisan al-qur’an, yaitu masa Rasulullah SAW, dan masa khulafaurrasyidin.
Telah diketahui bahwa pengumpulan al-qur’an pada masa Rasulullah SAW, dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menghafal dan menulis serta mengukirnya. Penulisan al-Qur’an pada masa Nabi adalah penyusunan surah dan ayat secara sistematis, namun belum terkumpul dalam satu mushaf.
Dalam proses penulisan di masa Rasulullah SAW yang menulis al-Quran yaitu Abu bakar, Umar, Usman, Ali, Abban Bin Said, Khalid bin Walid, dan Muawiyah bin Abi Sofyan. Setiap kali menerima wahyu Rasulullah SAW memanggil para sekertarisnya untuk menulis wahyu baru diterimanya. Wahyu yang ditulisnya, satu naskah disimpan Nabi SAW dan lainnya untuk penulis.
Di masa khalifah Abu Bakar, Allah SWT menggerakkan kaum muslimin terhadap kebaikan ini pada waktu perang yamamah karena banyaknya para qurra’ yang terbunuh, maka Umar Bin Khattab dengan segera pergi ketempat Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Karena Umar khawatir meninggalnya para qurra’ di tempat-tempat lain sebagaimana perang yamamah, sehingga kaum muslimin kehilangan pedoman agama Islam dan sulit akan memperoleh kitab mereka.
Umar mendiskusikan kepada Abu Bakar tentang rencana pengumpulan al-qur’an, setelah umar menguraikan sebab-sebab yang melatar belakanginya, Abu Bakar diam mempertimbangkannya. Kemudian Abu Bakar dan mengutus Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu di masa Rasulullah. Maka datanglah Zaid bin Tsabit ke majlis Abu Bakar dan Umar mendengarkan mereka berdua tentang al-Qur’an, lalu Zaid menyetujuinya.
Zaid meneliti al-Quran dengan mengumpulkan dan menulisnya dan Zaid sendiri orang yang hafal al-Qur’an, sehingga hafalannya itu sedikit mengurangi bebannya namun demikian Zaid tidaklah mencukupkan dengan hafalan dalam menetapkan ayat yang terdapat perselisihan kecuali dengan saksi. Begitu pula dalam melaksanakan amanah menulis al-Qur’an tidak mengandalkan hanya hafalan saja atau melalui pendengaran saja akan tetapi bertitik tolak dari pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber, yakni: 1) sumber hafalan yang tersimpan dalam dada hati para sahabat, dan 2) sumber tulisan yang ditulis pada masa Rasulullah SAW.
Setelah al-Qur’an selesai dikumpulkan dan ditulis kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpan baik-baik hingga wafatnya. Sepeninggal Abu Bakar, ia digantikan oleh Umar bin Khattab yang kemudian disimpannya naskah itu. Dan setelah wafatnya Umar bin Khattab, naskah itu kembali diserahkan kepada Hafsah. Di masa khalifah Utsman ketika mendengar laporan Hudzaifah tentang terjadinya perpecahan di kalangan kaum muslimin tentang perbedaan qira’ah al-Qur’an yang mengarah kepada saling pengklaiman tentang kafir mengkafirkan, maka sahabat Utsman ra, segera meminta mushaf yang disimpan di rumah Hafsah, lalu menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-Ash dan Abdurrahman bin Hisyam untuk menyalinnya dalam beberapa mushaf. kata Utsman, ‘jika kalian bertiga dan Zaid Bin Tsabit berselisih pendapat tentang hal Al-Qur’an, maka tulislah dengan ucapan atau lisan Quraish karena al-Quran diturunkan dengan lisan Quraish”.
Dalam penyalinan al-Qur’an ini mereka mengikuti ketentuam-ketentuan yang disetujui oleh khalifah Utsman. Ketentuan itu adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat mutawatir, mengabaikan ayat-ayat mansukh dan tidak diyakini dibaca kembali di masa hidup Nabi SAW, tulisannya secara maksimal mampu mengakomodasi qira’at yang berbeda-beda, dan menghilangkan semua tulisan sahabat yang tidak termasuk ayat al-Quran. Para penulis dan para sahabat setuju dengan tulisan yang mereka gunakan ini. Para ulama menyebut cara penulisan ini sebagai Rasm al-Mushaf atau Rasm Utsmani.
D. Pola, Hukum, dan Kedudukan serta Pendapat Ulama tentang Rasm al-Quran
Kedudukan rasm Usmani diperselisihkan para ulama, apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
1. Kelompok pertama (jumhur ulama) mengatakan bahwa pola rasm Usmani bersifat taufiqi, dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat, Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Setelah masa nabi berlalu, al-Qur’an msh tertulis sperti itu, tak mengalami perubahan dan penggantian.
Dengan demikian, menurut pendapat ini rasm Utsmani mendapatkan hal-hal yang masing-masing pantas untuk dihargai dan wajib diikuti. Hal-hal itu merupakan pengakuan Rasulullah SAW terhadapnya, perintah beliau dengan menggunakan undang-undang, kesepakatan sahabat yang jumlahnya lebih dari dua belas ribu orang dan kesepakatan umat pada masa tabi’in dan para imam mujtahid.
2. kelompok kedua berpendapat, rasm Utsmani bukan tauqifi tapi wajib diikuti. Banyak ulama yang menyatakan bahwa rasm Utsmani bukan ketetapan Nabi (bukan tauqifi). Rasm Utsmani itu suatu cara penulisan yang disetujui oleh khalifah Utsman bin affan dan diterima umat Islam dengan baik. Karenanya menjadi keharusan dan tidak boleh dilanggar.
3. Kelompok ketiga berpendapat, rasm Utsmani bukan tauqifi dan tidak wajib diikuti. Rasm ini hanyalah sebuah istilah, Abu Bakar al-Baqilani dalam bukunya al-Intishar mengatakan: “adapun penulisan, maka Allah SWT tidak mewajibkan sedikitpun kepada umat, karena Dia tidak menetapkan rasm tertentu atas para penulis wahyu, dan menyuruh meninggalkan rasm yang lain.”
Bahkan sunnah sendiri memperbolehkan menggunakan rasm mana saja yang mudah. Karena Rasulullah memerintahkan tanpa menyebut rasm tertentu. Beliau juga tidak pernah melarang seseorang menulisnya, karena itulah terjadi perbedaan dalam penulisanmushaf. Ada yang menulis suatu kata lebih atau kurang dari bunyi pengucapanny, karena dia tahu bahwa hal itu bersifat istilah dan bukan tauqifi.
E. Kaidah-Kaidah Rasm Utsmani
Musahaf Utsmani ditulis menurut kaidah-kaidah tulisan tertentu yang berbeda dengan kaidah tulisan imlak. Para ulama merumuskan kaidah-kaidah tersebut menjadi enam istilah:
1. Penghapusan (al-Hadzf), seperti penghapusan huruf-huruf sebagai berikut:
• Huruf alif yang terdapat pada ya’ nida’ (ya’ seruan) sebagaimana yang tercantum dalam bunyi ayat يااْيها الناس, huruf alif yang terdapat pada ha at-tanbih (peringatan) sebagaimana tercantum dalam bunyi ayat هانتم هؤلاء, huruf alif yang terdapat نا apabila diikuti oleh suatu dhamir, seperti انجينكم dan واتينه, huruf alif terdapat setiap bentuk jama’ shahih, baik untuk jama’ mudzakkar atau jama’ muannats seperti , المسلماتserta huruf alif yang terdapat pada setiap bentuk jamak yang menyerupai wazan mafa_i’lu dan yang serupa dengannya, seperti مساجد.
• Huruf “ya” yang terdapat pada setiap lafazh “al-manqush yang bertanwin, baik dalam keadaan rafa’ maupun jarr, seperti ungkapan غيرباغ ولاعاد dan huruf “ya” dalam ungkapan seruan, seperti ungkapan: يعباد فاتّقون kecuali dalam ungkapanقل ياعبادي الذين اسرفوا .
• Huruf “wawu” apabila terjadi bersamaan dengan huruf wawu yang lain, seperti lafazh لايستون
2. Penambahan (az-ziyadah), sebagaimana penambahan huruf-huruf berikut ini:
• Penambahan huruf alif di akhir isim yang dijama’kan atau dalam hukum yang serupa dengannya, seperti dalam lafadz الظنونا dan huruf alif yang terletak antara huruf “jim” dan huruf “ya” dalam lafadz وجئ dalam surah az-Zumar, sedangkan di dalam suratnya tertulis وجايء Penambahan huruf “ya”, sebagaimana lafadz با يبكم المفثون .
• Penambahan huruf “wawu”, sebagaimana lafadz اولئك
3. Aturan hamzah yanf terdiri atas beberapa macam, yaitu berikut ini:
• Al-Hamzah al-Sakinah yang aslinya ditulis di atas huruf yang sesuai dengan harakat sebelumnya, baik di awal, tengah, maupun akhir, اقرأ kecuali dalam kata-kata tertentu, seperti فادارءثم maka kedua kata tersebut hurufnya dihilangkan dan hamzah ditulis menyendiri.
• Al-Hamzah al-Mutaharrikah apabila berada di awal kata atau digabungkan dengan huruf tambahan, hamzah tersebut ditulis dengan alif secara pasti (mutlak, baik dalam keadaan fatah, dammah maupun kasrah, seperti kata اولوا. اذا, أيوب kecuali di tempat-tempat tertentu seperti قل أئنكم لثكفرون di dalam surah fushilat.
4. Aturan al-Badal (penggantian) yang terdiri atas beberapa macam aturan, yaitu:
• Gambar alif ditulis dengan wawu untuk menyatakan keagungan (al-tafkhim), ketakutan (at-tahwil), dan kekejian (tafdhi), seperti kata الربوا serta kata yang tidak disandarkan (idhafat), seperti,منوة kecuali seperti firman Allah di dalam surah al-An’am:162 ان صلاتي ونسكي ditulis dengan huruf alif.
• Setiap alif yang merupakan refleksi (munqalabah) huruf al-ya’u ditulis dengan huruf al-ya’, seperti kata يثوفيكم dalam isim atau fi’il yang bersambung dengan dlamir atau tidak, yang tetap sukun atau tidak, seperti ياحسرثي, ياأسفي علي يوسف kecuali seperti kata ,هداني.
• Nun taukid khafif ditulis dengan huruf alif, begitupula nun dalam kata (اذا) sedangkan ungkapa
• وكأين من نبي, maka ditulis dengan nun’.
• Ha’ at-Ta’nis ditulis dengan huruf ta ت yang berbeda dengan huruf aslinya di beberapa tempat di dalam al-Qur’an, seperti kata رحمة dalam surah al-Baqarah, al-Maidah, dan lain-lain.
5. Aturan pemisahan (al-fashl) dan penyambungan (al-washl). Di dalam tulisan, terkadang sebagian lafadz ditulis secara bersambung dan terkadang ditulis secara terpisah, dan sebagian lagi ditulis dalam satu keadaan tertentu.
• Penyambungan kata ان denga fathah hamzahnya disambungkan (washl) dengan لا, bila jatuh sesudahnya seperti lafadz ألاثقولوا dalam surah al-A’raf. Dari kaidah ini dikecualikan sepuluh tempat, antara lain kata أن لاثعبدوا dalam surah Hud dan surah Yasin, kata وان لاثعلواعلي الله dalam surah al-Dukhan.
• Penyambungan kata مما, kecuali di dalam ungkapan من ماملكث أيمانكم dalam surah al-Nisa dan al-Rum, ungkapanمن مارزقناكم dalam surah al-Munafiqun, penyambungan kataممن secara mutlak.
• Penyambungan kata عما, kecuali di dalam عن مانهواعنه
• Penyambungan kata عمن kecuali di dalam firman-Nya ويصرفه عن من يشاء dalam surah an-Nur, dan firman-Nya عن من توليdalam surah an-Najm.
• Penyambungan kata كلما kecuali dalam firman-Nya كل ماردواالي الفتنة dan firman-Nya من كل ماسألتموه.
• Penyambungan kata أمن, kecuali dalam firman-Nya أمن يكون عليهم وكيلا dalam surah an-Nisa, penyambungan kata اما dengan harakat kasrah pada huruf hamzah dan syiddah, kecuali dalam ungkapan ومانرينك dalam surah ar-Ra’du.
• Penyambungan kata أنما dengan harakat fatah pada huruf hamzah secara mutlak.
• Dan lafaz-lafaz lainnya yang sewaktu-waktu ditulis secara bersambung dan sewaktu-sewaktu terpisah, seperti kata أنما, kata أن لم dengan harakat dan kasrah.
6. Lafadz-lafadz yang memiliki dua bacaan maka ditulis menurut salah satunya, seperti lafadzوماهم بسكري dan yang sejenisnya. Semuanya dibaca dengan menetapkan alif, atau dengan menghilangkannya. Demikian pula, kata-kata yang ditulis dengan ta’ maftuhah, yaitu ثمرة من أكمامها dalam surah fusshilat.
F. Perkembangan Penulisan Mushaf Pasca Khalifah Utsman
1. Pemberian Harakat (al-I’rab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur’an. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah SAW.
.
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, ‘Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat ‘Ubaidullah datang menghadapnya, Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly
“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar.”
Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam ‘perangkap’ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi lakukanlah lahn terhadapnya!” Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” (al-Taubah: 3)
Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”. Bacaan itu didengarkan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!” ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-i’rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas huruf. Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Makkah misalnya, berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka.
Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW.
2. Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf ب(ba),ت )ta(, )ثtsa(. Pada penulisan mushaf Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur’an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’ma. Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’ma untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam. Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:
a. Untuk membedakan antara دdal dan ذdzal, رra’ dan زza’, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
b. Untuk pasangan سsin dan ش syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ب ba’, ت ta, ث tsa, ن nun, dan يya’.
c. Untuk rangkaian huruf جjim, حha’, dan خkha’, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d. Sedangkan pasangan فfa’ dan ق qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik di atasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf.
Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlubang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.
Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i’rab maupun nuqath al-i’jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’ kecil di bawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoubelkan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda lain.
Daftar Pustaka
al- Zarqany, Syekh Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-‘Urfan Fi Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002).
Al-A’dzami, M.M, The History Of The Qur’anic Text (terj), (Jakarta, Gema Insani Press, 2005).
Kusmana dkk, Pengantar kajian al-Qur’an, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2004).