Minggu, 24 Juli 2011



tersadar dari tidur panjang....
tiba-tiba awan hitam menyerang langit hatiQ...
Q hilang kendali dan tak ada daya untuk mempertahankan segala yang ku punya
Tuhan....!!!!! sesuatu itu menyerang lagi...

Minggu, 17 Juli 2011

ketika hati tertutup oleh awan gelap,
badanpun terikat oleh dosa
tak ada yang dpat dilakukan setelahnya
kecuali memohon ampunan Nya... 

ya Allah.... tunjukan jalan menuju ridhoMu ya Allah...
jauhkanlah dari segala sesuatu yang menghalangiku menuju Mu.
BAB I
SEJARAH MUNCULNYA HADITS
Nabi Muhammad bukanlah kepala negara atau raja, tetapi beliau dihormati para sahabatnya. Seluruh perbuatan, tutur kata serta gerak-gerik beliau menjadi perhatian para sahabat untuk dijadikan contoh atau pedoman hidup bagi mereka.
Sahabat yakin bahwa mereka diperintahkan untuk mengikuti serta menaati apa saja yang diperintahkan beliau, sebagaimana pernah disabdakan beliau, “Barang siapa mengikutiku, maka ia termasuk golonganku, dan barang siapa tidak mencintai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”(H.R.Muslim).
Seluruh apa yang dilihat didengar dan disaksikan oleh para sahabat tentang Rasulullah selama hidup beliau semuanya adalah sunnah. Dan itu oleh para sahabat kemudian diriwayatkan di antara mereka juga kepada generasi setelah mereka. Para sahabat dalam mendapatkan sunnah dari Rasulullah adalah dengan salah satu dari beberapa cara berikut:
1. Melalui majlis ta’lim Rasulullah.
2. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka.
3. Melalui peristiwa yang beliau alami lalu beliau menjelaskan hukumnya.
4. Melalui peristiwa yang dialami oleh para sahabat, lalu ditanyakan kepada Nabi, dan beliau menjelaskan hukumnya.
5. Melalui perilaku dan perbuatan Rasulullah yang disaksikan oleh para sahabat.
6. Untuk yang bersifat pribadi (persoalan keluarga terutama menyagkut hubungan suami istri), Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya.
Pada masa Rasulullah ini periwayatan hadits masih sebatas periwayatan dengan lisan, dan belum ada penulisan atau pembukuan hadits secara resmi karena memang dilarang oleh Rasulullah. Rasulullah khawatir akan bercampurnya dengan al-Qur’an. Ada juga riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah memberi izin kepada para sahabat untuk menulis hadits. Beberapa ulama berpendapat:
a) Larangan itu ada pada awal islam, sedangkan izin itu diberikan setelah para sahabat dirasa mampu membedakan antara al-Qur’an dan sunnah.
b) Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis tersebut hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja secara khusus.
c) Larangan menulis tersebut bersifat umum, sedangkan izin tersebut adalah hanya ketika ada kepentingan khusus.
Di antara sahabat yang menulis hadits adalah Abdullah bin Amr bin Ash yang tuisannya dikenal dengan nama Ash-Shahifah Ash-Shadiqah, dan Jabir bin Abdullah Al-Anshori yang catatannya dikenal dengan nama Shahifah Jabir.

BAB II
URGENSI PEMBUKUAN HADITS
Penulisan hadits secara resmi yaitu pada abad kedua, diprakarsai oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ulama yang pertama kali menulis hadits atas perintah khalifah adalah Mmuhammad bin Syihab Az-Zuhri yang kemudian diikuti ulama yang lain. Penulisan hadits secara resmi ini dilatarbelekangi oleh beberapa alasan, yaitu:
a) Kekhawatiran akan hilangnya hadits dan berkurangnya para ulama hadits, khususnya dari kalangan sahabat.
b) Semakin menyabarnya hadits-hadits palsu.
c) Tidak ada lagi kekhawatiran bercampurnya al-Qur’an dengan hadits.

BAB III
SANAD
Menurut bahasa, sanad berarti “sandaran”, yang dapat dipegangi atau percayai; kaki bukit atau kaki gunung. Sedangkan menurut istilah, sanad hadits berarti jalan yang menyampaikan kita pada matan hadits.
Dalam hubungannya dengan istilah sanad ini, dikenal juga istilah-istilah musnid, musnad, dan isnad. Yang dimaksud dengan musnid adalah orang yang menerangkan hadits dengan menyebutkan sanadnya. Sedangkan yang dimaksud dengan musnad ialah hadits yang disebut dengan diterangkan seluruh sanadnya yang sampaikepada Nabi saw. Adapun yang dimaksud dengan isnad ialah menerangkan atau menjelaskan sanadnya hadits (jalan datangnya hadits) atau jalan menyandarkan hadits.
Silsilatu Al-Dzahab (tinggi rendahnya rangkaian sanad), adalah sebagai berikut:
1. Ashahhu al-Asanid (sanad-sanad yang lebih shahih),
2. Ahsanu al-Asanid (sanad-sanad yang lebih hasan), dan
3. Adh’afu al-Asanid (sanad-sanad yang lebih lamah).

BAB IV
MATAN
Yang disebut “matnu al-hadits” adalah pembicaraan(kalam) atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah, sahabat ataupun tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi.

BAB V
TAKHRIJ AL-HADITS
Secara bahasa: al-istinbath (mengeluarkan); al-tadrib (meneliti); al-taujih (menerangkan); ijtima’ amrain mutadhadain fii syai’in waahid (mengumpulkan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah).
Secara istilah takhrij al-hadits adalah melacak tempat hadits dari sumber-sumber aslinya, lengkap dengan sanad dan matannya dan menjelaskan kualitasnya (jika diperlukan).
Tujuan takhrij al-hadits adalah sebagai berikut:
Melacak hadits dari sumbernya yang asli lengkap dengan variasi sanad dan matan.

Mengetahui seluruh riwayat, lengkap dengan syahid (pendukung saksi primer) dan mutabi’(pendukung saksi sekunder)nya.
Metode-metode takhrij al-hadits ada 6 metode, yaitu 5 metode(manual; yakni menggunakan kitab-kitab terkait) dan 1 metode(dengan CD/media elektronika; yakni menggunakan CD-ROM al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-kutub al-Tis’ah.
Penyebab adanya beberapa metode ini adalah karena kitab-kitab yang ada bragam susunannya. Ada yang berdasarkan rawi, sanad, tema ataupaun alfabetis.
1. Ma’rifah Rawi al-Hadits min al-Shahabah (menggunakan nama rawi pertama hadits, atau sanad terakhir). Yakni melalui kitab-kitab Musnad, Mu’jam, dan Athraf yang umumnya memuat nama sahabat/tabi’in dengan menyebut semua hadits yang diriwayatkannya.

Kelebihan metode ini adalah:
- mengetahui jumlah hadits yang diriwayatkan sahabat tertentu dengan sanad dan atannya secara lengkap.
Kekurangan metode ini adalah:
- membutuhkan waktu yang reletif lama untuk menemukan sahabat tertentu dengan haditsnya, khususnya sahabat yang sangat banyak meriwayatkan hadits.
- tidak menunjukkan sumber kitab hadits primer lain dengan rinci (nama kitab, bab, nomor) yang telah diklasifikasi kualitasnya.
2. Ma’rifah Awwali Lafdz min Matn al-Hadits (menggunakan awal lafadz hadits)
Yakni melalui kitab-kitab yang disusun secara alfabetis.
Kelebihannya adalah:
-dengan cepat menemukan hasilnya.
Kekurangannya adalah:
-dengan mengetahui satu lafadz awal matan, hadits tersebut dapat ditelusuri sumber asli, sanad dan matannya secara lengkap, hanya saja kekurangannya adalah peneliti hadits masih harus bekerja keras karena tidak dicantumkannya nomor bab ataupun halaman dari hadits tersebut pada kitab tertentu.
3. Ma’rifah Juz’i min Matn al-Hadits (mengetahui sebagian lafadz hadits, awal, tengah atau akhir matan)
Catatan:

-Musnad Ahmad (ﺤﻡ)
-Shahih Muslim (ﻡ)
-Shahih Bukhari (ﺥ)
-Sunan Abu Dawud (ﺩ)
-Sunan al-Tirmidzi (ﺖ)
-Sunan al-Nasa’i (ﻦ)
-Sunan Ibnu Majah (ﺟﻪ)
-Sunan al-Darimi (ﺩﻯ)

Kelebihan metode ini adalah:
-mudah mencari dalam kitab hadits primer, karena petunjuk yang lengkap (juz, halaman, nama bab, nomor hadits, dll)
-banyak alternatif kata yang bisa dicari (bi al-Lafdzi dan bi al-Ma’na)
Kekurangan metode ini adalah:
-hanya memuat 9 kitab hadits tertentu,
-petunjuk yang diberikan kadang-kadang tidak sesuai, karena perbedaan cetakan dari kitab rujukan yang dipakai,
-tidak bisa dipergunakannya metode ini bila lafadz yang diketahui berupa huruf, isim, dhamir, nama orang, atau kata kerja yang sering dipakai,
-serta harus paham dasar-dasar bahasa arab.
4. Ma’rifah Maudhu’ al-Hadits (mengetahui tema hadits)
Mengetahui suatu hadits termasuk dalam tema tertentu, memungkinka seseorang menelusuri sumbernya yang asli, yakni kitab yang disusun berdasarkan bab-bab atau masalah-masalah tertentu. Kitab yang diperlukan antara lain:
-Kitab Miftah Kunuz as-Sunnah (kitab fiqih), karya Arnold John Wensinck ini telah diterjemahkan oleh Muhammad Fuad al-Baqi. Kitab tersebut memuat 14 kitab, yakni:

-Shahih al-Bukhori (ﺥ)
-Shahih Muslim (ﻤﺱ)
-Sunan Abi Dawud (ﺑﺪ)
-Jami’ al-Turmudzi (ﺗﺭ)
-Sunan al-Nasa’i (ﻧﺱ)
-Sunan Ibnu Majah (ﻣﺞ)
-Muwaththa’ Malik
-Musnad Ahmad (ﺤﻡ)
-Musnad Abi Dawud al-Thayalisi
-Sunan al-Darimi (ﻣﻰ)
-Musnad Zaid bin ‘Ali
-Sirah Ibn Hasyim
-Maghazi al-Waqidi
-Thabaqat Ibn Sa’ad


Kelebihan metode ini adalah:
-sumber rujukan banyak, yaitu 14 kitab hadits
Kekurangan metode ini adalah:
-sulit menentukan suatu hadits masuk tema mana, karena perbedaan persepsi dengan mukharrij kitab hadits tersebut.
5. Al-Nadhru fii Haal al-Hadits (mengetahui ciri-ciri tertentu dalam sanad dan matan hadits tersebut)
Meneliti secara seksama keadaan sanad dan matan hadits, yaitu dengan melihat petunjuk dari sanad, matan, atau saad dan matannya secara bersamaan.
Kelebihan metode ini:
-adanya penjelasan detail dan adanya hadits lain dengan ciri yang sama.
Kekurangannya adalah:
-perlunya pengetahuan yang mendalam bagi penelusur hadits untuk mengetahui keadaan sanad atau matan hadits.
6. Takhrij al-Hadits dengan CD Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah
Program ini merupakan software komputer yang tersimpan dalam compact disk read only memory (CD ROM) yang diproduksi Syakhr pada tahun 1991, edisi 1.2, yang memuat seluruh hadits al-Kutub al-Tis’ah lengkap dengan sanad dan matannya. Program ini juga memuat data-data biografi, daftar guru dan murid, penilaian kualitas, aspek ketersambungan, aspek penyandaran, dan skema sanadnya.
Kelebihannya:
-lebih cepat dan lebih mudah,
-dapat menggabungakan dengan banyak metode.
Kekurangannya:
-hanya merujuk pada 9 kitab hadits saja.
Ada 8 model yang bisa dipakai untuk mentakhrij dengan CD tersebut, yaitu:
1) Dengan nomor urut hadits, yaitu:
a) Buka menu utama,
b) klik ardh,
c) klik raqm hadits,
d) klik nama kitab hadits yang dipilih,
e) ketik nomor hadits yang dicari,
f) klik sistem penomoran yang dipilih,
g) klik gambar buku terbuka.

2) Berdasarkan daftar isi kitab (judul bab/sub bab), yaitu:
a) buka menu utama,
b) klik ardh,
c) klik tabwiib al-Mashaadir,
d) klik nama hadits yang dipilih,
e) klik judul bab yang dicari,
f) klik sub bab yang dicari dengan menggerakkan kursor ke atas/ke bawah,
g) klik hadits yang dipilih dalam qaa’imah al-ahaadiits,
h) klik gambar buku terbuka.
3) Memilih lafadz yang terdapat dalam daftar:
a) buka menu utama,
b) klik ma’aajim
c) klik mu’jam al-Mufahras al-Hadits
d) klik abjad hijaiyyah yang dipilih dalam mu’jam al-Mufahras
e) cari lafadz yang dibutuhkan dengan menggerakkan kursor dan klik,
f) pilih dalam qaaimah al-Mawaadhi’ hadits yang sesuai, lalu klil
g) klik buku terbuka
4) Aspek tertentu dalam hadits (ayat al-Qur’an nama, keadaan rawi, syair, derajat, dll), bisa digunakan untuk mencari:
 ayat-ayat al-Qur’an yang disebut dalam hadits,
 nama-nama (nabi, malaikat, tempat, perang, laki-laki, perempuan)
 faharis al-Turmudzi (cari hadits yang diberi penilaian Turmudzi)
 athraf hadits (qudsi, mutawatir, marfu’, mauquf, maqthu’)
 ruwaah (hadits muttashil dan ghairu muttashil, mu’allaq, mursal, munqathi’)
 aqwaal (bait syair, mushannif, murid-murid)
Caranya:
a) buka menu utama,
b) klik ardh,
c) klik fahaaris al-Mashaadir
d) pilih aspek yang akan dicari 6 alternatif yang ada dalam ‘ardh bi dhalaalah al-fahaaris, lalu klik,
e) pilih sub aspek dalam kotak di bawahnya, lalu klik,
f) klik gambar tabel di kotak kana bawah,
g) pilih dan klik hadits yang dicari dengan menggerakkan kursor atas bawah.
h) klik gambar buku terbuka.
5) Mengetik nama periwayatnya:
a) buka menu utama,
b) klik bahts,
c) klik bi dalaalah al-ruwah al-hadits,
d) ketik nama,dll (minimal nama saja),
e) klik kaca pembesar,
f) pilih nama yang dicari dan klik,
g) klik kaca pembesar,
h) pilih hadits dan klik,
i) klik buku terbuka.
6) Mengetikkan sebagian lafadz:
a) buka menu utama,
b) klik bahts kemudian pilih bahts al-Sharfy,
c) ketik kata/kalimat yang jarang dipakai,
d) klik kaca pembesar,
e) pilih kata/akar kata yang dicari, dan klik,
f) kli kaca pembesar,
g) pilih hadits yang sesuai dengan menggerakkan kursor dan klik,
h) klik buku terbuka.
7) Memilih tema kandugan hadits:
a) buka menu utama,
b) klik bahts,
c) klik bi dalaalah maudhu’ al-fiqhi
d) klik salah satu dari 14 tema yang ada,
e) klik sub tema yang dipilih,
f) klik gambar kaca pembesar,
g) klik hadits yang dipilih,
h) klik bukuterbuka.
8) Takhrij hadits:
a) buka menu utama,
b) klik bahts,
c) klik bi dalaalah takhrij al-hadits,
d) klik itab sumber (pilih 1),
e) klik kitab-kitab lain yang memuat (maks.8),
f) klik kaca pembesar,
g) pilih dan klik hadits yang dicari,
h) klik buku terbuka.
PENDAHULUAN
Dalam mengatasi persoalan nafsu biologis , islam telah memberikan solusi yang tidak hanya bersifat preventive dan berkenaan dengan hukuman, tapi bersifat realistis dan positif . Adapun solusi itu yakni memudahkan urusan pernikahan.
Pernikahan adalah solusi , jalan , dan tujuan yang paling tepat serta sacral dalam meghadapi gejolak hawa nafsu . karena itu setiap insan harus berusaha menghilangkan segala hambatan yang menyumbat jalannya pernikahan sehingga air kehidupan mengalir secara alami dengan penuh kesederhanaan.
Sebagaimana telah diketahui sejak dari permulaan Surat an-Nur ini, nyatalah bahwa peraturan yang tertera di dalamnya hendak membentuk suatu masyarakat Islam yang gemah ripah, adil dan makmur, loh jinawi. Keamanan dalam rohani clan jasmani dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga ada peraturan memasuki rumah, ada peraturan memakai pakaian yang bersumber dari kesopanan iman.
Maka di dalam ayat yang selanjutnya ini terdapat pula peraturan yang amat penting dalam rnasyarakat Islam, yaitu yang dijelaskan dalam ayat 32 tersebut di atas. Hendaklah laki-laki yang tidak beristeri dan perempuan yang tidak bersuami, baik masih bujangan dan gadis ataupun telah duda dan janda, karena bercerai atau karena kematian salah satu suami atau isteri, hendaklah segera dicarikan jodohnya..








PEMBAHASAN
A. AYAT ALQUR’AN
                   
Artinya : Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan me¬mampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya)( QS 24:32)
    •                     •                    •       
Artinya : Dan orang-orang yang belum mampu berkawin hendaklah menjaga dia akan kehormatan dirinya, hingga Allah memberinya kemampuan dengan limpahan kumiaNya. Dan orang-orang yang hendak membuat perjanji¬an dari mereka yang dimiliki oleh tangan kanan kamu, maka perbuatlah perjanjian itu dengan mereka, jika kamu ketahui bah ada baiknya untuk mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian daripada harta Allah yang telah dianugerahkan Tuhan kepadamu Dan janganlah kamu paksa hamba-hamba perempuan melacurkan diri karena mengharapkan harta dunia, apabila dia ingin hidup bersih. Dan barang siapa yang memaksa mereka, sesungguhnya Allah karena paksaan atas mereka itu, adalah Maha Memberi Ampun lagi Maha Penyayang.(QS:24:33)
B. ASBABUN NUZUL
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa shubaih hamba sahaya (abid) huwaitib bin Abdul ‘uzza, meminta dimerdekakan dengan suatu perjanjian tertentu, akan tetapi permohonannya ditolak . maka turunlah ayat ini (24:33) yang mmerintahkan untuk mengabulkan permintaan hamba sahaya yang ingin merdeka dengan perjanjian tertentu.
Diriwayatkan oleh ibnus sakan dalam kitab “ ma’rifatish shahabah dari Abdullah bin shuhaib yang bersumber dari bapaknya.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ‘abdullah bin ubay menyuruh jariahnya melacur dan meminta bagian dari hasilnya , maka turunlah kelanjutan ayat ini (24: 33)sebagai larangan memaksa jariah (hamba sahaya perempuan) melacurkan diri untuk mengambil keuntungan.

C. TAFSIRANNYA
Dalam ayat- ayat ini Allah menyuruh menikahkan orang- orang yang sendirian ( belum beristri/ bersuami ),karena hal itu adalah jalan untuk melestarikan jenis manusia, disamping memelihara keturunan yang dapat menambah kasih sayang kepada anak-anak , memberi pendidikan yang baik kepada mereka dan melangsungkan kemesraan diantara mereka . kemudian, menerangkan hukum orang yang belum mampu untuk menikah karena tidak memiliki harta . sesudah itu, Allah mendorong para tuan untuk memerdekakan budaknya dengan jalan mukatabah , agar mereka menjadi orang- orang yang merdeka atas diri dan hartanya, sehingga dapat menikah sesuai dengan kehendaknya .
Selanjutnya, Allah melarang para tuan memaksa para budak wanita untuk melakukan pelacuran , jika mereka menghendaki dirinya suci, hanya karena menghendaki kesenangan duniawi.
al Baghawi mengatakan : ayat ini merupakan dalil bahwa yang menikahkan wanita-wanita yang sendirian adalah para walinya , karena Allah berbicara dengan mereka ( para wali) dan yang menikahkan budak laki-laki dan budak perempuan adalah majikannya , berdasarkan firman Allah SWT :
والصالحين من عبادكم وامائكم ( dan orang-orang yang layak (menikah)dari hamba- hamba sahayamu yang lelaki dan hamba – hamba sahaya mu yang perempuan.)
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan orang – orang setelah mereka . pendapat ini diriwayatkan dari Umar dan Abdullah bin Mas’ud
D. ANJURAN MENIKAH
Barang siapa yang meneliti kitabullah dan sunnah nabi niscaya kita akan menemukan banyak motivasi dan hal- hal yang menarik seseorang untuk melakukan pernikahan. Seperti dalam ayat yang telah disebutkan di atas terdapat perintah Allah kepada kita untuk menikahkan anak-anak laki-laki , perempuan baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Karena di dalam pernikahan itu sendiri memiliki banyak keuntungan yang dapat dinikmati oleh individu maupun masyarakat. Keuntungan – keuntungan tersebut diantaranya adalah
1. Keuntungan Psikologis
2. Keuntungan Social
3. Keuntungan Bersama
E. KEUNTUNGAN PSIKOLOGIS NIKAH
1. Ketenangan Batin.
Di dalam pernikahan terdapat ketenangan dan kesenangan batin yang tidak bisa didapatkan seorang pria kecuali dengan istrinya , dan tidak pula didapatkan oleh seorang istri kecuali dengan seorang suaminya. Bila hatinya tenang , niscaya seluruh sanubari akan jauh dari kejahatan , dan terjadilah rasa cinta diantara keduanya . Allah berfirman :
            ••   •      
Artinya : dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.( QS.30:21)
Jadi, untuk pria dan wanita sama, dalam naungan hidup berumah tangga yang tenang, atau saat berkumpul dengan anak-anak , akan sirna segala kelelahan dan kesulitan yang dihadapi dalam kesehariannya.
2. Kesenangan Duniawi.
Di dalam pernikahan akan dijumpai nikmat Allah yang tak bisa dirasakan kecuali mempelai pria dan wanita. Keduanya melaksanakan pernikahan dan mendapatkan kenikmatan dengan disaksikan oleh orang-orang yang mereka kenal, sanak saudara dan kaum kerabat. Mereka berada dalam ketenangan penuh karena semua prosesi telah dilaksanakan dengan cara yang sah. Sejak saat itu persetubuhan dihalalkan bagi mereka berdua , tak peduli siang maupun malam. Dan kebahagiaan itu akan semakin sempurna apabila sang istri adalah seorang hamba yang taat kepada tuhannya dan taat kepada suaminya selama tidak untuk maksiat , seperti apa yang disabdakan rasulullah SAW :
الدنيا متاع, وخير متاعها المراة الصالحة (رواه مسلم )
Dunia adalah perhiasan, dan seindah-indahnya perhiasan adalah wanita yang shalihah
( HR. Muslim )
3. Rizki dan Kekayaan
Keuntungan lain dari pernikahan adalah terbukanya pintu rizqi bagi mereka yang menikah demi untuk mendapatkan kesucian. Rasulullah bersabda :
ثلاثة حق علي الله عونهم : النكاح يريد العفاف, والمكاتب يريد الاداء, والغازي في سبيل الله
( رواه احمد والترمذي وصحيحه )
Ada tiga golongan orang yang dibantu Allah : pengantin yang menginginkan kesucian , orang yang berhutang dan ingin membayar, serta pejuang dalam jalan Allah ( HR.Ahmad dan at-tirmidzi dalam shahih)
F. KEUNTUNGAN SOCIAL NIKAH
1. Memperbanyak Umat Muhammad
Seperti dalam hadist yang diterima dari ma’qal bin yasar “ telah datang seseorang kepada nabi dan bertanya “ wahai rasulullah, saya mengenal seorang wanita cantik, terhormat dan kaya raya , hanya saja dia tidsk bisa beranak, baikkah bila saya menikah dengannya? “ rasulullah melarang. Ketika lelaki tersebut datang untuk kedua kalinya, beliau tetap melarang . maka pada kali yang ketiga beliau bersada :
تزوجوا الودود فاني مكاثر بكم الامم ( رواه ابو داوود والنسائ و الحاكم واللفظ له وقال صحيح الاسناد )
“ menikahlah dengan orang yang pengasih lagi berkemang (subur), karena aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak atas umat yang lain
(HR. abu dawud, nasa’I dan hakim dengan sanad shahih )

2. Memelihara Keturunan
Dengan menikah, seseorang bisa memelihara keturunan di dalam masyarakat. Si anak dikenal siapa ayahnya , ibunya, keluarganya. Dan itu akan membuatnya lebih tenang, hingga sampai gilirannya menjadi anggota masyarakat yang baik. Sebab telah umum diketahui bahwa seseorang yang tumbuh tanpa mengetahui asal usulnya akan labil jiwanya. Selain itu, pandangan masyarakat terhadap dirinya juga kurang baik maupun masyarakat itu sendiri.
3. Merupakan Sarana Pembinaan Keluarga
Dengan adanya pernikahan-pernikahan yang sah , masyarakat akan terhindar dari kerusakan, kekacauan dan kebinasaan. Dan berkembang menjadi masyarakat yang bersih dan tertata dalam norma- norma kehidupan yang teratur.
4. Mencegah Masyarakat Dari Berbagai Penyakit
Dengan adanya perniahan, individu- individu anggota masyarakat bisa terhindar dari penyakit- penyakit yang membahayakan yang banyak diidap oleh para pezina, pria maupun wanita.

G. KEUNTUNGAN NORMATIVE NIKAH
1. Nikah Sunnah Para Rasul
Barang siapa menikah berarti dia telah melaksanakan sunnah, jalan dan petunjuk para rasul. Seperti sabda nabi dibawah ini yang diterima dari Abu Ayyub:
اربع من سنن المرسلين : الحناء , والتعطر , والسواك, والنكاح (رواه الترمذي والامام احمد و البيهقي )
“Empat dari sunnah rasul adalah celakdan pacar( inai ), wewangian, siwak dan nikah ”
(HR. at-tirmidzi, imam ahmad dan baihaqi)
2. Menyempurnakan Separuh Agama
Rasulullah bersabda :
اذا تزوج العبد فقد استكمل نصف دينه , فليتق الله في النصف الباقي (رواه البيهقي )
Bila seorang hamba yang menikah , maka dia telah menyempurnakan agamanya, dia harus bertaqwa kepada Allah untuk memenuhi separuh yang tersisa. (HR. al-Baihaqi )
3. Menjaga Mata Dan Memelihara Kemaluan
Pernikahan bisa menjaga mata seseorang pria dari memandang wanita lain yang dilarang Allah untuk dipandang dengan syahwat . perhatikan firman Allah berikut :
            •     
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". QS.24:30

Juga menjaga wanita dari memandang dengan syahwat kepada pria lain yang dilarang Allah . seperti dalam surat an-nur ayat 31 berikut:
               ………….
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. ……….(.QS2:31)
selain itu, pernikahan juga memelihara kemauan dari melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah seperti zina, kejahatan, dan lain-lain.
Dengan pernikahan yang suci berarti seorang muslim dan muslimah sudah melaksanakan perintah tuhannya, melakukan apa yang diridhoi-Nya bagi mereka ,dan menjahui siksa-Nya.
Maka sungguh benar apa yang telah dijelaskan rasulullah yang jujur dan terpercaya dalam pengarahannya kepada kaum muda :
يامعشر الشباب من استطع منكم الباءة فليتزوج,فانه اغض للبصر, واحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء ( رواه البخاري ومسلم واللفظ له )
“wahai kaum muda, barang siapa diantara kamu yang telah mampu menikah, maka beristrilah,karena dengan beristrilah itu akan lebih mampu menjaga mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu beristri,maka hendaklah dia berpuasa karena puasa mengandung pencegahan.
“ HR. ukhari dan muslim”
4. Pahala Nafkah
Bagi suami, terdapat kewajiban syar’i yang member nafkah kepada istri, putra-putranya sampai mampu mandiri,dan putri-putrinya sampai mereka menikah. Bila dia memberikan nafkah dengan penuh keimanan demi mengharapkan pahala Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar, hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW :

دينار انفقته في سبيل الله , ودينار انفقته علي رقبة , ودينار تصد قت به علي مسكين, ودينار انفقته علي اهلك, اعظمها اجرا ما انفقته علي اهلك (رواه مسلم)
Satu dinar yang ingin engkau belanjakan fi sabilillah, satu dinar yang engkau pegunakan untuk memerdekakan budak , satu dinar yang engkau sedekahkan kepada fakir miskin , dan satu dinar yang engkau nafkahkan kepada istrimu, yang paling besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan kepada istrimu ( HR. muslim ).
















KESIMPULAN
Islam menganjurkan bagi lelaki dan perempuan yang sendirian baik yang sudah pernah menikah maupun yang belum pernah menikah , ketika sudah layak dan mampu menikah, segera menikah, karena di dalam pernikahan tersebut terdapat banyak sekali manfaat dan keuntungan. Diantaranya adalah keuntungan dalam aspek psikologis individu itu sendiri maupun masyraat lainnya, selain itu juga keuntungan dalam aspek social dan aspek normative dari pernikahan tersebut.






















DAFTAR PUSTAKA
1. H. Salim Bahreisy ,H.Said Bahreisy .”Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir jilid 5 ”( Surabaya: 1990.) PT . Bina ilmu
2. KH.Qomaruddin Shaleh dkk,” Asbabun Nuzul” , (Bandung : 1984) Diponegoro
3. Mushtofa al- maraghi " terjemah Al-Maraghi jilid 18" (Semarang:1998) Toha Putra .
4. Muhammad Ahmad Isawi, "Tafsir Ibnu Mas'ud" (Jakarta : 2009) Pustaka Azzam.
5. Abdul Ghalib Ahmad Isa,”Pernikahan Islam”(Solo :1997) pustaka Mantiq
A. Pengertian Rasm al-Qur’an
Rasm berasal dari kata rasama, yarsamu, rasman, yang berarti menggambar atau melukis. Kata rasm ini juga biasa diartikan sebagai sesuatu yang resmi atau menurut aturan. Jadi rasm berarti tulisan atau penulisan yang mempunyai metode tertentu. Adapun yang dimaksud rasm dalam makalah ini adalah pola penulisan yang telah diakui dan diwarisi oleh umat Islam sejak masa Utsman, yang biasa dikenal dengan mushaf utsmani.
B. Sejarah Perkembangan Rasm al-Qur’an
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antar satu dengan yang lainnya. Mereka mencatat wahyu Al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Ali Al-Shobuni membagi kedalam dua masa tentang pengumpulan dan penulisan al-qur’an, yaitu masa Rasulullah SAW, dan masa khulafaurrasyidin.
Telah diketahui bahwa pengumpulan al-qur’an pada masa Rasulullah SAW, dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menghafal dan menulis serta mengukirnya. Penulisan al-Qur’an pada masa Nabi adalah penyusunan surah dan ayat secara sistematis, namun belum terkumpul dalam satu mushaf.
Dalam proses penulisan di masa Rasulullah SAW yang menulis al-Quran yaitu Abu bakar, Umar, Usman, Ali, Abban Bin Said, Khalid bin Walid, dan Muawiyah bin Abi Sofyan. Setiap kali menerima wahyu Rasulullah SAW memanggil para sekertarisnya untuk menulis wahyu baru diterimanya. Wahyu yang ditulisnya, satu naskah disimpan Nabi SAW dan lainnya untuk penulis.
Di masa khalifah Abu Bakar, Allah SWT menggerakkan kaum muslimin terhadap kebaikan ini pada waktu perang yamamah karena banyaknya para qurra’ yang terbunuh, maka Umar Bin Khattab dengan segera pergi ketempat Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Karena Umar khawatir meninggalnya para qurra’ di tempat-tempat lain sebagaimana perang yamamah, sehingga kaum muslimin kehilangan pedoman agama Islam dan sulit akan memperoleh kitab mereka.
Umar mendiskusikan kepada Abu Bakar tentang rencana pengumpulan al-qur’an, setelah umar menguraikan sebab-sebab yang melatar belakanginya, Abu Bakar diam mempertimbangkannya. Kemudian Abu Bakar dan mengutus Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu di masa Rasulullah. Maka datanglah Zaid bin Tsabit ke majlis Abu Bakar dan Umar mendengarkan mereka berdua tentang al-Qur’an, lalu Zaid menyetujuinya.
Zaid meneliti al-Quran dengan mengumpulkan dan menulisnya dan Zaid sendiri orang yang hafal al-Qur’an, sehingga hafalannya itu sedikit mengurangi bebannya namun demikian Zaid tidaklah mencukupkan dengan hafalan dalam menetapkan ayat yang terdapat perselisihan kecuali dengan saksi. Begitu pula dalam melaksanakan amanah menulis al-Qur’an tidak mengandalkan hanya hafalan saja atau melalui pendengaran saja akan tetapi bertitik tolak dari pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber, yakni: 1) sumber hafalan yang tersimpan dalam dada hati para sahabat, dan 2) sumber tulisan yang ditulis pada masa Rasulullah SAW.
Setelah al-Qur’an selesai dikumpulkan dan ditulis kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpan baik-baik hingga wafatnya. Sepeninggal Abu Bakar, ia digantikan oleh Umar bin Khattab yang kemudian disimpannya naskah itu. Dan setelah wafatnya Umar bin Khattab, naskah itu kembali diserahkan kepada Hafsah. Di masa khalifah Utsman ketika mendengar laporan Hudzaifah tentang terjadinya perpecahan di kalangan kaum muslimin tentang perbedaan qira’ah al-Qur’an yang mengarah kepada saling pengklaiman tentang kafir mengkafirkan, maka sahabat Utsman ra, segera meminta mushaf yang disimpan di rumah Hafsah, lalu menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-Ash dan Abdurrahman bin Hisyam untuk menyalinnya dalam beberapa mushaf. kata Utsman, ‘jika kalian bertiga dan Zaid Bin Tsabit berselisih pendapat tentang hal Al-Qur’an, maka tulislah dengan ucapan atau lisan Quraish karena al-Quran diturunkan dengan lisan Quraish”.
Dalam penyalinan al-Qur’an ini mereka mengikuti ketentuam-ketentuan yang disetujui oleh khalifah Utsman. Ketentuan itu adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat mutawatir, mengabaikan ayat-ayat mansukh dan tidak diyakini dibaca kembali di masa hidup Nabi SAW, tulisannya secara maksimal mampu mengakomodasi qira’at yang berbeda-beda, dan menghilangkan semua tulisan sahabat yang tidak termasuk ayat al-Quran. Para penulis dan para sahabat setuju dengan tulisan yang mereka gunakan ini. Para ulama menyebut cara penulisan ini sebagai Rasm al-Mushaf atau Rasm Utsmani.

D. Pola, Hukum, dan Kedudukan serta Pendapat Ulama tentang Rasm al-Quran
Kedudukan rasm Usmani diperselisihkan para ulama, apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
1. Kelompok pertama (jumhur ulama) mengatakan bahwa pola rasm Usmani bersifat taufiqi, dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat, Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Setelah masa nabi berlalu, al-Qur’an msh tertulis sperti itu, tak mengalami perubahan dan penggantian.
Dengan demikian, menurut pendapat ini rasm Utsmani mendapatkan hal-hal yang masing-masing pantas untuk dihargai dan wajib diikuti. Hal-hal itu merupakan pengakuan Rasulullah SAW terhadapnya, perintah beliau dengan menggunakan undang-undang, kesepakatan sahabat yang jumlahnya lebih dari dua belas ribu orang dan kesepakatan umat pada masa tabi’in dan para imam mujtahid.
2. kelompok kedua berpendapat, rasm Utsmani bukan tauqifi tapi wajib diikuti. Banyak ulama yang menyatakan bahwa rasm Utsmani bukan ketetapan Nabi (bukan tauqifi). Rasm Utsmani itu suatu cara penulisan yang disetujui oleh khalifah Utsman bin affan dan diterima umat Islam dengan baik. Karenanya menjadi keharusan dan tidak boleh dilanggar.
3. Kelompok ketiga berpendapat, rasm Utsmani bukan tauqifi dan tidak wajib diikuti. Rasm ini hanyalah sebuah istilah, Abu Bakar al-Baqilani dalam bukunya al-Intishar mengatakan: “adapun penulisan, maka Allah SWT tidak mewajibkan sedikitpun kepada umat, karena Dia tidak menetapkan rasm tertentu atas para penulis wahyu, dan menyuruh meninggalkan rasm yang lain.”
Bahkan sunnah sendiri memperbolehkan menggunakan rasm mana saja yang mudah. Karena Rasulullah memerintahkan tanpa menyebut rasm tertentu. Beliau juga tidak pernah melarang seseorang menulisnya, karena itulah terjadi perbedaan dalam penulisanmushaf. Ada yang menulis suatu kata lebih atau kurang dari bunyi pengucapanny, karena dia tahu bahwa hal itu bersifat istilah dan bukan tauqifi.

E. Kaidah-Kaidah Rasm Utsmani
Musahaf Utsmani ditulis menurut kaidah-kaidah tulisan tertentu yang berbeda dengan kaidah tulisan imlak. Para ulama merumuskan kaidah-kaidah tersebut menjadi enam istilah:
1. Penghapusan (al-Hadzf), seperti penghapusan huruf-huruf sebagai berikut:
• Huruf alif yang terdapat pada ya’ nida’ (ya’ seruan) sebagaimana yang tercantum dalam bunyi ayat يااْيها الناس, huruf alif yang terdapat pada ha at-tanbih (peringatan) sebagaimana tercantum dalam bunyi ayat هانتم هؤلاء, huruf alif yang terdapat نا apabila diikuti oleh suatu dhamir, seperti انجينكم dan واتينه, huruf alif terdapat setiap bentuk jama’ shahih, baik untuk jama’ mudzakkar atau jama’ muannats seperti , المسلماتserta huruf alif yang terdapat pada setiap bentuk jamak yang menyerupai wazan mafa_i’lu dan yang serupa dengannya, seperti مساجد.
• Huruf “ya” yang terdapat pada setiap lafazh “al-manqush yang bertanwin, baik dalam keadaan rafa’ maupun jarr, seperti ungkapan غيرباغ ولاعاد dan huruf “ya” dalam ungkapan seruan, seperti ungkapan: يعباد فاتّقون kecuali dalam ungkapanقل ياعبادي الذين اسرفوا .
• Huruf “wawu” apabila terjadi bersamaan dengan huruf wawu yang lain, seperti lafazh لايستون
2. Penambahan (az-ziyadah), sebagaimana penambahan huruf-huruf berikut ini:
• Penambahan huruf alif di akhir isim yang dijama’kan atau dalam hukum yang serupa dengannya, seperti dalam lafadz الظنونا dan huruf alif yang terletak antara huruf “jim” dan huruf “ya” dalam lafadz وجئ dalam surah az-Zumar, sedangkan di dalam suratnya tertulis وجايء Penambahan huruf “ya”, sebagaimana lafadz با يبكم المفثون .
• Penambahan huruf “wawu”, sebagaimana lafadz اولئك
3. Aturan hamzah yanf terdiri atas beberapa macam, yaitu berikut ini:
• Al-Hamzah al-Sakinah yang aslinya ditulis di atas huruf yang sesuai dengan harakat sebelumnya, baik di awal, tengah, maupun akhir, اقرأ kecuali dalam kata-kata tertentu, seperti فادارءثم maka kedua kata tersebut hurufnya dihilangkan dan hamzah ditulis menyendiri.
• Al-Hamzah al-Mutaharrikah apabila berada di awal kata atau digabungkan dengan huruf tambahan, hamzah tersebut ditulis dengan alif secara pasti (mutlak, baik dalam keadaan fatah, dammah maupun kasrah, seperti kata اولوا. اذا, أيوب kecuali di tempat-tempat tertentu seperti قل أئنكم لثكفرون di dalam surah fushilat.
4. Aturan al-Badal (penggantian) yang terdiri atas beberapa macam aturan, yaitu:
• Gambar alif ditulis dengan wawu untuk menyatakan keagungan (al-tafkhim), ketakutan (at-tahwil), dan kekejian (tafdhi), seperti kata الربوا serta kata yang tidak disandarkan (idhafat), seperti,منوة kecuali seperti firman Allah di dalam surah al-An’am:162 ان صلاتي ونسكي ditulis dengan huruf alif.
• Setiap alif yang merupakan refleksi (munqalabah) huruf al-ya’u ditulis dengan huruf al-ya’, seperti kata يثوفيكم dalam isim atau fi’il yang bersambung dengan dlamir atau tidak, yang tetap sukun atau tidak, seperti ياحسرثي, ياأسفي علي يوسف kecuali seperti kata ,هداني.
• Nun taukid khafif ditulis dengan huruf alif, begitupula nun dalam kata (اذا) sedangkan ungkapa
• وكأين من نبي, maka ditulis dengan nun’.
• Ha’ at-Ta’nis ditulis dengan huruf ta ت yang berbeda dengan huruf aslinya di beberapa tempat di dalam al-Qur’an, seperti kata رحمة dalam surah al-Baqarah, al-Maidah, dan lain-lain.
5. Aturan pemisahan (al-fashl) dan penyambungan (al-washl). Di dalam tulisan, terkadang sebagian lafadz ditulis secara bersambung dan terkadang ditulis secara terpisah, dan sebagian lagi ditulis dalam satu keadaan tertentu.
• Penyambungan kata ان denga fathah hamzahnya disambungkan (washl) dengan لا, bila jatuh sesudahnya seperti lafadz ألاثقولوا dalam surah al-A’raf. Dari kaidah ini dikecualikan sepuluh tempat, antara lain kata أن لاثعبدوا dalam surah Hud dan surah Yasin, kata وان لاثعلواعلي الله dalam surah al-Dukhan.
• Penyambungan kata مما, kecuali di dalam ungkapan من ماملكث أيمانكم dalam surah al-Nisa dan al-Rum, ungkapanمن مارزقناكم dalam surah al-Munafiqun, penyambungan kataممن secara mutlak.
• Penyambungan kata عما, kecuali di dalam عن مانهواعنه
• Penyambungan kata عمن kecuali di dalam firman-Nya ويصرفه عن من يشاء dalam surah an-Nur, dan firman-Nya عن من توليdalam surah an-Najm.
• Penyambungan kata كلما kecuali dalam firman-Nya كل ماردواالي الفتنة dan firman-Nya من كل ماسألتموه.
• Penyambungan kata أمن, kecuali dalam firman-Nya أمن يكون عليهم وكيلا dalam surah an-Nisa, penyambungan kata اما dengan harakat kasrah pada huruf hamzah dan syiddah, kecuali dalam ungkapan ومانرينك dalam surah ar-Ra’du.
• Penyambungan kata أنما dengan harakat fatah pada huruf hamzah secara mutlak.
• Dan lafaz-lafaz lainnya yang sewaktu-waktu ditulis secara bersambung dan sewaktu-sewaktu terpisah, seperti kata أنما, kata أن لم dengan harakat dan kasrah.
6. Lafadz-lafadz yang memiliki dua bacaan maka ditulis menurut salah satunya, seperti lafadzوماهم بسكري dan yang sejenisnya. Semuanya dibaca dengan menetapkan alif, atau dengan menghilangkannya. Demikian pula, kata-kata yang ditulis dengan ta’ maftuhah, yaitu ثمرة من أكمامها dalam surah fusshilat.

F. Perkembangan Penulisan Mushaf Pasca Khalifah Utsman
1. Pemberian Harakat (al-I’rab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur’an. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah SAW.
.
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, ‘Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat ‘Ubaidullah datang menghadapnya, Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly
“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar.”

Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam ‘perangkap’ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi lakukanlah lahn terhadapnya!” Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” (al-Taubah: 3)
Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”. Bacaan itu didengarkan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!” ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-i’rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas huruf. Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Makkah misalnya, berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka.
Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW.
2. Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf ب(ba),ت )ta(, )ثtsa(. Pada penulisan mushaf Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur’an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’ma. Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’ma untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam. Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:
a. Untuk membedakan antara دdal dan ذdzal, رra’ dan زza’, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
b. Untuk pasangan سsin dan ش syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ب ba’, ت ta, ث tsa, ن nun, dan يya’.
c. Untuk rangkaian huruf جjim, حha’, dan خkha’, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d. Sedangkan pasangan فfa’ dan ق qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik di atasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf.
Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlubang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.
Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i’rab maupun nuqath al-i’jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’ kecil di bawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoubelkan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda lain.
Daftar Pustaka
al- Zarqany, Syekh Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-‘Urfan Fi Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002).
Al-A’dzami, M.M, The History Of The Qur’anic Text (terj), (Jakarta, Gema Insani Press, 2005).
Kusmana dkk, Pengantar kajian al-Qur’an, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2004).