BAB
I
PENDAHULUAN
Kebajikan dan keburukan sama-sama
bersanding dalam jiwa setiap manusia. Allah SWT menngilhami jiwa
setiap manusia dengan kedurhakaan serta ketakwaan. Begitu firman
Allah SWT dalam surah Al-Syams ayat 8, yang artinya “diri
manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan”.
Seperti itu jugalah sifat masyarakat
dan negara yang terdiri dari banyak individu. Keburukan mendorong
pada kesewenang-wenangan, sedangkan kebajikan menghantarkan pada
keharmonisan. Saat terjadi kesewenang-wenangan, kebajikan berseru dan
merintih untuk mencegahnya. Dari sanalah lahir perjuangan, baik di
tingkat individu maupun tingkat masyarakat dan negara. Demikian itu
merupakan ketetapan illahi.
“Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi
dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya
kami hendak membuat sesuatu permainan, (isteri dan anak), tentulah
kami membuatnya dari sisi Kami, jika kami menghendaki berbuat
demikian, (tentulah kami Telah melakukannya). Sebenarya kami
melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu
menghancurkannya, Maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. dan
kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan
sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya).”
Oleh sebab itu Islam datang membawa
nilai-nilai kebaikan menganjurkan manusia agar menghiasi diri
dengannya, serta memerintahkan manusia agar memperjuangkannya hingga
mengalahkan kebatilan. Atau seperti bunyi ayat di atas, melontarkan
yang hak kepada yang batil hingga mampu menghancurkannya. Akan
tetapi hal itu tak dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali
melalui perjuangan. Bumi adalah gelanggang perjuangan
(jihad)menghadapi musuh. Karena itu, al-jihad
mȃdhin ilaa yaum al-qiyamah
(perjuangan berlanjut hingga hari kiamat). Istilah Al-Qur’an untuk
menunjukkan perjuangan adalah kata jihad.Sayangnya,
istilah ini sering disalah pahami atau dipersempit maknanya.
Dewasa ini juga agaknya tidak ada isu
tentang Islam yang sensitif dan sering diperdebatkan selain Jihad. Ia
diperbincangkan dalam media massa dan buku-buku akademis, baik di
timur maupun barat. Ia juga merupakan salah satu konsep Islam yang
paling sering disalahpahami, khususnya oleh kalangan para ahli dan
pengamat Barat.
Oleh karena itu, disini kami
sedikit-banyak akan menguraikan dari tema diatas yang mana untuk
konteks sekarangyang kebanyakan orang dalam memaknai teks Al-Qur’an
hanya dari satu sisi saja. Dan bahkan sudah jauh dari pemaknaan yang
dimaksudkan oleh Al-Qur’an itu sendiri.
Menjadi amat penting bagi setiap
Muslim khususnya dan khalayak umum untuk memperoleh jawaban tuntas
atas pertanyaan mendasar tentang jihad; apa itu jihad; siapa yang
mesti berjihad; bagaimana caranya; kapan jihad dilaksanakan; di mana
dan mengapa harus dilakukan.
Sementara itu, umat Islam kini hidup
di zaman yanh jauh berbeda dengan zaman Nabi Muhammad SAW. Untuk itu,
diperlukan upaya pemahaman kembali konsep jihad itu sendiri yang ada
di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Guna mengaktualisasikan kembali
jihad untuk masa sekarang.
Dan yang terakhir dari kami, pastilah
dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari kesalahan. Untuk
itu, kami disisni mengharap kritik, saran serta tanggapan guna
kedepannya lebih baik lagi dalam penyusunan tugas.
BAB II
PEMBAHASAN AYAT-AYAT TENTANG JIHAD
- Q.S Al-Baqarah (2) : 218
“{Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
- Asbab An-Nuzul
Diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir, Ibnu Abi Hatim Ath-Thabarani
bahwasannya Rasulullah SAW, mengirimkan pasukan dibawah pimpinan
Abdullah bin Jahsy. Mereka berpapasan dan bertempur dengan pasukan
musuh yang dipimpin oleh Amru bin al-Hadrami dan terbunuhlah pimpinan
pasukan itu. Sebenarnya pada waktu itu tidak jelas bagi pasukan
Abdullah bin Jahsy, apakah termasuk bulan Rajab, Jumadil ̶̶ awwal
atau Jumadil Akhir. Kaum Musrikin menghembus-hembuskan berita bahwa
kaum Muslimin berperang pada bulan Haram. Maka Allah turunkan ayat
tersebut (Q.S 2: 217). Kaum Muslimin yang ada di Madinah berkata:
“Perbuatan mereka
berperang dengan pasukan Amru bin Hadrami ini mungkin tidak berdosa,
tetapi juga tidak akan mendapat pahala”.Maka
Allah SWT, menurunkan ayat selanjutnya (Q.S 2: 218).1
- Tafsir Mufradat
- جهد
Kata جهد
berasal dari
segi bahasa Arab, bentuk isim masdar dari fi’il ja-ha-da, yang
artinya “mencurahkan
kemampuan”.2
Sedangkan menurut istilah, Jihad yang diturunkan dari pengungkapan
Al-Qur’an dan Al-Hadis adalah “perjuangan
menegakkan kalimat Allah dengan mencurahkan kemampuan fisik dan
non-fisik untuk memperoleh ridha-Nya”.3
- Tafsir Ayat
Pada umumnya ayat-ayat yang berbicara
tentang jihad tidak disebutkan obyek yang harus dihadapi, begitu juga
dengan ayat diatas.Sehingga ayat ini bersifat global atau ditujukan
kepada semua umat Muhammad SAW.
Imam Ar-Raghib Al-Asfahani menyatakan
dalam Al-Mufradat li Gharib Al-Qur’an, Jihad adalah mencurahkan
kemampuan dalam menahan serangan musuh.4
Lebih lanjut Asfahani menambahkan bahwa jihad itu ada tiga macam,
yaitu berjuang menghadapi atau melawan musuh yang tampak, berjuang
menghadapi syetan dan berjuang melawan hawa nafsu. Perjuangan
tersebut dilakukan dengan tangan dan lisan.
Kamil Salamah Ad-Daqs menyatakan,
bahwa jihad yang ada di Al-Qur’an bermakna mencurahkan kemampuan
secara penuh dan mutlak.5
Dia menambahkan lagi serta menyimpukan, bahwa jihad lebih luas
cakupannya dari pada perang.
Ia meliputi
pengertian perang dan membelanjakan harta dan segala upaya dalam
rangka mendukung agama Allah SWT, berjuang menghadapi nafsu serta
menghadapi rayuan syetan.6
Ibnu Mandzur menyatakan bahwasannya,
kata jihad terbentuk dari tiga kata dasar yaitu: ja-ha-da
yang berarti sungguh-sungguh, usaha keras.7
Dari kata ini, kita mengenal tiga kata jadian yang maknanya sering
dipisahkan dan seolah tidak memiliki keterkaitan. Tiga kata jadian
itu adalah Jihad
itu sendiri, Mujahadah,
Ijtihad.
Jihad sering dipahami(secara salah)sebagai sungguh-sungguh dengan
otot, sehingga sering diartikan dengan perang fisik. Mujahadah,
diartikan dengan sungguh-sungguh dengan hati dan sering dipakai oleh
para sufi. Sedangkan Ijtihad sendiri sering diartikan dengan
sungguh-sungguh dengan fikiran(rasional).
Dari penjelasan diatas, kata jadian:
ja-ha-da(Jihad, Mujahadah, Ijtihad)memang dapat dibedakan. Namun,
ketiganya tidak dapat dipisahkan dan memiliki makna integral. Sebab
otot, hati, dan fikiran adalah tiga hal yang membentuk kepribadian
manusia yang sempurna. Oleh karena itu, mendefinisikan jihad dengan
perang fisik sangatlah tidak tepat. Kekurang tepatan jihad diartikan
dengan perang fisik lebih tampak jelas ketika Nabi SAW pulang dari
perang Uhud, beliau bersabda :
رجعنا من جها
د الا صغا ر الى جها د الاكبر "جها
د النفس"
“Kita kembali dari jihad
terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.(H.R
Imam Bukhari)8
Memerangi hawa nafsu jelas bukan
perang fisik, tapi memerangi nafsu diri sendiri. Memerangi nafsu diri
sendiri bukan berarti bunuh diri, misal menembak atau gantung diri.
Melainkan dengan membangun kesadaran diri melalui proses mujahadah.
Seperti disebutkan, Jihad pada
hakikatnya semula adalah “memerangi” diri sendiri seperti yang
terdapat dalam Q.S Al-Ankabut (29): 6
“Dan barangsiapa yang berjihad, Maka
Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam”.
Mengapa Al-Qur’an menegaskan
demikian, karena tidak sedikit diantara kita yang kalah dan tidak
berhasil dalam membendung nafsu ke-dirian kita. Oleh karenanya jihad
menjadi sebuah kewajiban. Kewajiban itu meliputi pembelaan terhadap
kebebasan beragama(Q.S Al-Hajj[22]: 39-41), membela diri(Q.S
Al-Baqarah[2]: 190) dan membela orang-orang yang membutuhkan
pertolongan (Q.S An-Nisa’[4]: 75).9
Jihad menjadi tolok ukur untuk
menguji tinggi-rendahnya keimanan dan komitmen seseorang, serta bisa
membedakan mana di antara kita yang benar-benar sabar dan mana yang
tidak.10
“Dan Sesungguhnya kami
benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang
berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik
buruknya) hal ihwalmu”.
Ayat tentang jihad diatas (Q.S
Al-Baqarah[2]: 218) secara harfiah menyebut lafadz جهد
dan tidak
menggunakan lafadzقتل,
sebagaimana yang terdapat pada ayat-ayat Al-Qur’an, Q.S
Al-Hajj(22): 39-40.
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang
yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan
Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,
(yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka
tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: "Tuhan
kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah
Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak
disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi
Maha Perkasa”.
Ayat diatas merupakan ayat yang
pertama kali turun, dimana pada ayat tersebut perintah qitalatau
perangbaru
diizinkan oleh Allah kepada kaum Muslimin untuk membela diri.11
Sehingga pernyataan tentang jihad pada ayat tersebut tidaklah identik
dengan qital atau perang. Sebab, jihad telah diserukan Allah SWT dan
telah dilaksanakan Nabi bersama kaum Muslimin sejak periode Mekkah,
sementara peperangan baru diizinkan Allah SWT bagi kaum Muslimin pada
periode Madinah, yakni tahun kedua setelah hijrah.12
- Q.S At-Taubah (9) : 24
“Katakanlah:
"Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri,
kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang
kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai,
adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di
jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA".
dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”
a). Asbab An-Nuzul
Dalam suatu riwayat Al-Faryabi yang
bersumber dari Ibnu Sirrin dikemukakan bahwa Ali bin Abi Thalib
datang ke Makkah dan berkata kepada Al-Abbas: ”Wahai
pamanku, tidaklah engkau ingin Hijrah ke Madinah untuk mengikuti
Rasulullah SAW ?”.
Ia menjawab: “Bukankah
aku ini memakmurkan masjid dan mengurus Baitullah”.
Turunnya ayat(Q.S [9]:19) berkanaan dengan peristiwa yang menegaskan
perbedaan antara orang yang beriman dan berjihad di jalan Allah
dengan orang-orang yang yang hanya berbuat kebaikan saja. Dan
kemudian Ali berkata kepada yang lainnya dengan menyebutkan namanya
satu persatu: “Tidakkah
kalian ingin berhijrah mengikuti Rasulullah SAW ke Madinah?”.Mereka
menjawab: “Kami
tinggal disini beserta saudara-saudara dan teman-teman kami
sendiri”.13Dengan
peristiwa ini, maka turunlah ayat selanjutnya yakni ayat ke (24) yang
menegaskan bahwa orang-orang yang lebih mencintai sanak saudara,
keluarga, kawan dan kekayaannya dari pada mencintai Allah SWT dan
Rasul-Nya, serta jihad fi Sabilillah diancam dengan azab dari Allah
SWT.
b).
Tafsir Mufradat
Pada ayat tersebut, kata “ahabba”
terambil dari kata “hubb”
yakni suka.
Dimana kata tersebut mengandung arti bahwa kecintaan yang berlebih
terhadap sesuatu. Sehingga mengindikasikan adanya kepentingan,
kenikmatan yang bersifat duniawi saja, dan tanpa menghiraukan
unsur-unsur yang lain.14
c). Tafsir Ayat
Dalam ayat ini, bertujuan untuk
memperjelas larangan untuk tidak mementingkan kepentingan hubungan
kekeluargaan dibandingkan dengan kepentinngan Allah SWT dan Rasul-Nya
yang sebelumnya sudah terdapat pada ayat sebelumnya.
Namun disini perlu ditekankan
bahwasannya, ayat ini bukan berarti melarang untuk mencintai
keluarga, harta benda, jabatan, ataupun kedudukan. Betapa pun
dilarang, rasa cinta ini merupakan naluri manusia itu sendiri ketika
diciptakan didunia ini. Karena Allah juga berfirman didalam Q.S
Ali-Imran(3): 14.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang”.
Dalam hal ini, Allah memberikan
harta-benda, orang-orang yang dikasihi, jabatan, kedudukan dan lain
lain guna menciptakan rasa syukur di hati manusia dan bahwasannya
hanya AllahYang Maha Esa yang mampu memberikan itu semua. Akan
tetapi perlu diingat juga bahwasannya Allah SWT memberikanitu semua
tidak lain agar manusia tidak lupa terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya.
Namun, kebanyakan dari sifat manusia itu lebih mencintai kesenangan,
gemerlap kehidupan duniawi semata. Tanpa memikirkan dari siapa itu
semua berasal. Dan yang pasti, kesenangan yang bersifat materi
ataupun non-materi semua hanya bersifat semu(sementara).
Dan juga mengapa Allah menurunkan
ayat tersebut, yakni Allah menegaskan kepada manusia bahwa apabila
mereka lebih mencintai sanak keluarga, harta-benda, jabatan,
kedudukan dan kehidupan duniawi belaka dari pada mencintai Allah SWT
dan Rasul-Nya maka Allah sangat membenci bahkan melaknat manusia
tersebut di kehidupan kelak. Atau dapat dikatakan, bahwa Allah itu
enggan atau tidak mau di nomor-duakan dengan yang lain.
Ayat di atas juga memerintahkan
kepada kita untuk berjihad di jalan Allah. Dapat dikatakan, bentuk
sarana atau cara dalam berjihad yang ada salah satunya yakni
memerangi hawa nafsu yang ada pada diri manusia dan bujuk rayuan
syetan.Pada hakikatnya sangat sulit untuk membedakan antara bujuk
rayuan syetan dan hawa nafsu manusia. Ulama-ulama, khususnya para
Sufi menekankan bahwa pada hakikatnya manusia tidak mengetahui
gejolak nafsu dan bisikan hati. Kecuali bila dapat melepaskan diri
dari pengaruh gejolak tersebut.15
Disisi lain juga, syetan dalam
menggoda manusia dengan pelbagai cara tipu muslihat. Salah satunya
yaitu dengan melalui apa-apa yang disukai manusia pada umumnya baik
itu melalui harta-benda, jabatan, kedudukan dan lain sebagainya.
Dengan sarana tersebut, secara tidak lansung membawa manusia untuk
asyik, terbawa dan hanyut di dalam kesenangan-kesenangan duniawi.
Karena syetan tidak akan pernah berhenti dan menyerah sebelum manusia
tersebut masuk dan terperangkap dalam bujuk rayuannya.
Oleh karenanya, Allah SWT menurunkan
ayat ini guna menjadi petunjuk bagi orang-orang yang ingin memperoleh
kedudukan yang mulia dihadapan-Nya tanpa melupakan bahwasannya hanya
Allah SWT dan Rasulullah SAW-lah yang patut, pantas dan harus
dicintai melebihi apapun di dunia ini.
- Q.S At-Taubah(9): 73
“Hai
nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik
itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah
jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya”
- Asbab An-Nuzul
Dalam
ayat diatas, tidak ditemukan asbabun nuzulnya.
- Tafsir Mufradat
Pada ayat diatas yang pertama, yaitu:
menunjukkan titah yang ditujukan kepada Nabi SAW dan seluruh umat
Islam yang mengimani ajarannya. Sedangkan pada ayat selanjutnya yakni
وا
غلظ عليهم“Dan
bersikap keraslah terhadap mereka”.16
Kata اغلظ
yang asal
katanya adalah الغلظmerupakan
lawan kata dari الرٲفة
yang artinya
belas kasih.
Makna kata الغلظadalah
kekerasan hati terhadap diri seseorang untuk memecahkan suatu
masalah. Kekerasan ini tidak dapat dilakukan melalui lisan saja.17
Selain itu, lawan kata dari الغلظadalah
kelembutan, atau dapat juga diartikan seperti firman Allah SWT ini,
Q.S Asy-Syu’araa(26): 215
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang
yang mengikutimu, yaitu orng-orang yang beriman”
- Tafsir Ayat
Ibnu Abbas menafsirkan bahwa ayat ini
merupakan perintah untuk berjihad memerangi orang-orang kafir dengan
pedang atau senjata lainnya, sedangkan berjihad memerangi orang-orang
munafik dengan lisan, hukuman berat, serta sikap keras.18
Sementara itu, Al-Hasan berkata,
“Berjihad melawan orang-orang munafik dengan cara menegakkan hukum
atas mereka karena memang merekalah yang paling banyak bersinggungan
dengan masalah hukum”.
Dari penafsiran itu, Quraish Shihab
menyimpulkan bahwasannya jihad itu dapat dilakukan dengan pelbagai
cara yang
sesuai.19Dalam
tanda kutip, bahwa makna fi sabilillah dalam uraian tersebut tidak
hanya mencangkup upaya jihad dengan senjata(pedang), akan tetapi juga
dengan pena dan lidah serta cara-cara yang lain sesuai dengan situasi
dan perkembangan ilmu serta tegnologi.
Ayat diatas turun pada periode
Madinah, yang dimana Allah SWT baru memberikan izin umat Muslim pada
waktu itu untuk berperang melawan orang-orang kafir dan munafik.
Dapat kita ketahui tujuan hakiki
dalam berjihad yakni untuk menegakkan kalimat Allah SWT, seperti yang
tertulis dalam firman-Nya:
“Jikalau kamu tidak
menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah Telah menolongnya
(yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya
(dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya
berada dalam gua, di waktu dia Berkata kepada temannya: "Janganlah
kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah
menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan
tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan
orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang
Tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(At-Taubah:
40)
Objek atau sasaran jihad tersebut
adalah orang-orang kafir dan munafik pada zaman Nabi SAW. Orang-orang
kafir dan munafik merupakan personifikasi kemungkaran. Dengan
demikian dapat dinyatakan, bahwa objek jihad adalah segala macam
bentuk kemungkaran, baik yang berupa sosok pelaku maupun wujud
kemungkaran itu sendiri.
Allah berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.(Q.S
Ali-Imran[3]: 104)
Menyeru orang untuk berbuat benar dan
melarang perbuatan mungkar merupakan suatu bentuk jihad juga. Orang
Mukmin harus mengajak semua orang ke jalan Allah SWT dan ajaran-Nya
yang universal. Hal itu dilakukan dengan bijaksana, dengan cara yang
sesuai, meyakinkan mereka dengan contoh-contoh dari pengetahuan dan
pengalaman mereka sendiri yang mungkin terlalu sempit atau
sebaliknya. Ajakan tersebut seyogyanya tidak terlalu dogmatik, tidak
egois, tidak mendesak atau memojokkan. Akan tetapi dengan lemah
lembut dan penuh pengertian.
Jihad juga dapat berbentuk memberi
makan pada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin
yang sangat fakir(Q.S Al-Balad[90]: 13-16), membantu orang yang
dibelit hutang dan untuk membiayai jihadfi sabilillah(Q.S
At-Taubah[9]: 60 ) dan lain-lain.
- Q.S Al-Hujurȃt(49): 15
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan
Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka
Itulah orang-orang yang benar”.
- Asbab An-Nuzul
Ayat
ini turun, ketika orang-orang arab badui bersumpah bahwa sesungguhnya
mereka adalah orang –orang arab yang beriman,baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.20
- Tafsir Mufradat
- الذينءامنوا
- وجهدوا بامولهم وانفسهم
Pada poin pertama, ayat
الذينءامنواmenunjukkan
susunan kalimat yang ditujukan pada orang banyak atau jama’, yang
dalam hal ini dimaksud adalah “orang-orang
yang beriman”
Sedangkan pada poin kedua,
ayatبامولهم
merupakan bentuk
jama’ dari kataمال
(masdar)
yang berarti harta, benda. Dan selanjutnya lafadz وانفسهمmerupakan
bentuk jama’ yang berarti jiwa, nyawa, hati.
- Tafsir Ayat
Dari Ibnu Katsir, bahwasanya ayat tersebut
menjelaskan tentang keimanan seseorang secara sempurna yakni tidak
bimbang dan tidak pula goyah, bahkan semakin kokoh dalam suatu
keadaan yaitu keimanan yang sebenarnya. Dan bentuk jihad dalam ayat
tersebut yakni dengan seluruh jiwa dan harta benda untuk berbuat taat
pada Allah dan mencari keridhaan Nya.
dalam tafsir al-mishbah dijelaskan tentang
tafsiran ayat di atas mengenai siapa orang mukmin yang benar-benar
sempurna imannya. Allah berfirman : sesungguhnya orang-orang mukmin
yang sempurna imannya hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah
menyakini semua sifat-Nya dan menyaksikan kebenaran Rasulullah dalam
segala apa yang disampaikanya kemudian walau berlanjut masa yang
berkepanjangan, hati mereka tidak disentuh oleh keraguan walau mereka
mengalami aneka ujian dan bencana dan disamping sifat batiniyah itu
mereka juga membuktikan kebenaran iman mereka melalui berjihad yakni
berjuang membela kebenaran dengan mengorbankan harta dan jiwa mereka
pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar dalam ucapan
dan perbuatan mereka.21
DAFTAR
PUSTAKA
Syaikh
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir
Al-Aisar,(Jakarta:
Darus Sunnah press, 2009) hlm.924
K.H.
Qomarudin Shaleh, dkk, Asbabun
Nuzul, (Bandung:
CV. Diponegoro, 1993), hlm. 68.
Drs.
Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad
Dalam Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 11.
Sayyid
Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, (Beirut-Lebanon: Dar Ihya Turats
Al-‘Araby, 1967), 579.
Waryono
Abdul Ghafur, M.Ag, Tafsir
Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 184
M.
Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 13, hlm. 267
M.
Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an,
(Bandung: Pustaka Mizan, 2007), hlm. 675.
Syaikh
Imam Al-Qurthubi, Al
Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jild 8 hlm.
1
K.H. Qomarudin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1993), hlm. 68.
2 Drs.
Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 1997), hlm. 11.
3 Drs.
Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 1997), hlm. 11.
4 Drs.
Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 1997), hlm. 12.
5 Drs.
Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 1997), hlm. 13.
6 Drs.
Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 1997), hlm. 13.
7 Waryono
Abdul Ghafur, M.Ag, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan
Konteks, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 183.
8 M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Mizan,
2007), hlm. 667.
9 Waryono
Abdul Ghafur, M.Ag, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan
Konteks, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 184.
10 Waryono
Abdul Ghafur, M.Ag, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan
Konteks, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 184.
11 Drs.
Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 1997), hlm. 23.
12 Drs.
Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 1997), hlm. 23.
13 K.H.
Qomarudin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1993), hlm. 236.
14 Sayyid
Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, (Beirut-Lebanon: Dar Ihya Turats
Al-‘Araby, 1967), 579.
15 M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Mizan,
2007), hlm. 675.
16 Syaikh
Imam Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an,(Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), jild 8 hlm. 505.
17 Syaikh
Imam Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an,(Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), jild 8 hlm. 505.
18 Syaikh
Imam Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an,(Jakarta:
Pustaka Azzm, 2008), jild 8 hlm. 504.
19 M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), volume 5, hlm. 654.
20 Syaikh
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir Al-Aisar,(Jakarta: Darus
Sunnah press, 2009) hlm.924
21 M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), volume 13, hlm. 267