Minggu, 05 Februari 2012

BAB I
PENDAHULUAN

Kebajikan dan keburukan sama-sama bersanding dalam jiwa setiap manusia. Allah SWT menngilhami jiwa setiap manusia dengan kedurhakaan serta ketakwaan. Begitu firman Allah SWT dalam surah Al-Syams ayat 8, yang artinya “diri manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan”.
Seperti itu jugalah sifat masyarakat dan negara yang terdiri dari banyak individu. Keburukan mendorong pada kesewenang-wenangan, sedangkan kebajikan menghantarkan pada keharmonisan. Saat terjadi kesewenang-wenangan, kebajikan berseru dan merintih untuk mencegahnya. Dari sanalah lahir perjuangan, baik di tingkat individu maupun tingkat masyarakat dan negara. Demikian itu merupakan ketetapan illahi.

Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya kami hendak membuat sesuatu permainan, (isteri dan anak), tentulah kami membuatnya dari sisi Kami, jika kami menghendaki berbuat demikian, (tentulah kami Telah melakukannya). Sebenarya kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, Maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya).”
Oleh sebab itu Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan menganjurkan manusia agar menghiasi diri dengannya, serta memerintahkan manusia agar memperjuangkannya hingga mengalahkan kebatilan. Atau seperti bunyi ayat di atas, melontarkan yang hak kepada yang batil hingga mampu menghancurkannya. Akan tetapi hal itu tak dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali melalui perjuangan. Bumi adalah gelanggang perjuangan (jihad)menghadapi musuh. Karena itu, al-jihad mȃdhin ilaa yaum al-qiyamah (perjuangan berlanjut hingga hari kiamat). Istilah Al-Qur’an untuk menunjukkan perjuangan adalah kata jihad.Sayangnya, istilah ini sering disalah pahami atau dipersempit maknanya.
Dewasa ini juga agaknya tidak ada isu tentang Islam yang sensitif dan sering diperdebatkan selain Jihad. Ia diperbincangkan dalam media massa dan buku-buku akademis, baik di timur maupun barat. Ia juga merupakan salah satu konsep Islam yang paling sering disalahpahami, khususnya oleh kalangan para ahli dan pengamat Barat.
Oleh karena itu, disini kami sedikit-banyak akan menguraikan dari tema diatas yang mana untuk konteks sekarangyang kebanyakan orang dalam memaknai teks Al-Qur’an hanya dari satu sisi saja. Dan bahkan sudah jauh dari pemaknaan yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an itu sendiri.
Menjadi amat penting bagi setiap Muslim khususnya dan khalayak umum untuk memperoleh jawaban tuntas atas pertanyaan mendasar tentang jihad; apa itu jihad; siapa yang mesti berjihad; bagaimana caranya; kapan jihad dilaksanakan; di mana dan mengapa harus dilakukan.
Sementara itu, umat Islam kini hidup di zaman yanh jauh berbeda dengan zaman Nabi Muhammad SAW. Untuk itu, diperlukan upaya pemahaman kembali konsep jihad itu sendiri yang ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Guna mengaktualisasikan kembali jihad untuk masa sekarang.
Dan yang terakhir dari kami, pastilah dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari kesalahan. Untuk itu, kami disisni mengharap kritik, saran serta tanggapan guna kedepannya lebih baik lagi dalam penyusunan tugas.





BAB II
PEMBAHASAN AYAT-AYAT TENTANG JIHAD
  1. Q.S Al-Baqarah (2) : 218


{Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

  1. Asbab An-Nuzul
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim Ath-Thabarani bahwasannya Rasulullah SAW, mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Abdullah bin Jahsy. Mereka berpapasan dan bertempur dengan pasukan musuh yang dipimpin oleh Amru bin al-Hadrami dan terbunuhlah pimpinan pasukan itu. Sebenarnya pada waktu itu tidak jelas bagi pasukan Abdullah bin Jahsy, apakah termasuk bulan Rajab, Jumadil ̶̶ awwal atau Jumadil Akhir. Kaum Musrikin menghembus-hembuskan berita bahwa kaum Muslimin berperang pada bulan Haram. Maka Allah turunkan ayat tersebut (Q.S 2: 217). Kaum Muslimin yang ada di Madinah berkata: “Perbuatan mereka berperang dengan pasukan Amru bin Hadrami ini mungkin tidak berdosa, tetapi juga tidak akan mendapat pahala”.Maka Allah SWT, menurunkan ayat selanjutnya (Q.S 2: 218).1
  1. Tafsir Mufradat
  • جهد
Kata جهد berasal dari segi bahasa Arab, bentuk isim masdar dari fi’il ja-ha-da, yang artinya “mencurahkan kemampuan”.2 Sedangkan menurut istilah, Jihad yang diturunkan dari pengungkapan Al-Qur’an dan Al-Hadis adalah “perjuangan menegakkan kalimat Allah dengan mencurahkan kemampuan fisik dan non-fisik untuk memperoleh ridha-Nya”.3
  1. Tafsir Ayat
Pada umumnya ayat-ayat yang berbicara tentang jihad tidak disebutkan obyek yang harus dihadapi, begitu juga dengan ayat diatas.Sehingga ayat ini bersifat global atau ditujukan kepada semua umat Muhammad SAW.
Imam Ar-Raghib Al-Asfahani menyatakan dalam Al-Mufradat li Gharib Al-Qur’an, Jihad adalah mencurahkan kemampuan dalam menahan serangan musuh.4 Lebih lanjut Asfahani menambahkan bahwa jihad itu ada tiga macam, yaitu berjuang menghadapi atau melawan musuh yang tampak, berjuang menghadapi syetan dan berjuang melawan hawa nafsu. Perjuangan tersebut dilakukan dengan tangan dan lisan.
Kamil Salamah Ad-Daqs menyatakan, bahwa jihad yang ada di Al-Qur’an bermakna mencurahkan kemampuan secara penuh dan mutlak.5 Dia menambahkan lagi serta menyimpukan, bahwa jihad lebih luas cakupannya dari pada perang. Ia meliputi pengertian perang dan membelanjakan harta dan segala upaya dalam rangka mendukung agama Allah SWT, berjuang menghadapi nafsu serta menghadapi rayuan syetan.6
Ibnu Mandzur menyatakan bahwasannya, kata jihad terbentuk dari tiga kata dasar yaitu: ja-ha-da yang berarti sungguh-sungguh, usaha keras.7 Dari kata ini, kita mengenal tiga kata jadian yang maknanya sering dipisahkan dan seolah tidak memiliki keterkaitan. Tiga kata jadian itu adalah Jihad itu sendiri, Mujahadah, Ijtihad. Jihad sering dipahami(secara salah)sebagai sungguh-sungguh dengan otot, sehingga sering diartikan dengan perang fisik. Mujahadah, diartikan dengan sungguh-sungguh dengan hati dan sering dipakai oleh para sufi. Sedangkan Ijtihad sendiri sering diartikan dengan sungguh-sungguh dengan fikiran(rasional).
Dari penjelasan diatas, kata jadian: ja-ha-da(Jihad, Mujahadah, Ijtihad)memang dapat dibedakan. Namun, ketiganya tidak dapat dipisahkan dan memiliki makna integral. Sebab otot, hati, dan fikiran adalah tiga hal yang membentuk kepribadian manusia yang sempurna. Oleh karena itu, mendefinisikan jihad dengan perang fisik sangatlah tidak tepat. Kekurang tepatan jihad diartikan dengan perang fisik lebih tampak jelas ketika Nabi SAW pulang dari perang Uhud, beliau bersabda :
رجعنا من جها د الا صغا ر الى جها د الاكبر "جها د النفس"

Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.(H.R Imam Bukhari)8
Memerangi hawa nafsu jelas bukan perang fisik, tapi memerangi nafsu diri sendiri. Memerangi nafsu diri sendiri bukan berarti bunuh diri, misal menembak atau gantung diri. Melainkan dengan membangun kesadaran diri melalui proses mujahadah.
Seperti disebutkan, Jihad pada hakikatnya semula adalah “memerangi” diri sendiri seperti yang terdapat dalam Q.S Al-Ankabut (29): 6

Dan barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.
Mengapa Al-Qur’an menegaskan demikian, karena tidak sedikit diantara kita yang kalah dan tidak berhasil dalam membendung nafsu ke-dirian kita. Oleh karenanya jihad menjadi sebuah kewajiban. Kewajiban itu meliputi pembelaan terhadap kebebasan beragama(Q.S Al-Hajj[22]: 39-41), membela diri(Q.S Al-Baqarah[2]: 190) dan membela orang-orang yang membutuhkan pertolongan (Q.S An-Nisa’[4]: 75).9
Jihad menjadi tolok ukur untuk menguji tinggi-rendahnya keimanan dan komitmen seseorang, serta bisa membedakan mana di antara kita yang benar-benar sabar dan mana yang tidak.10

Dan Sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”.

Ayat tentang jihad diatas (Q.S Al-Baqarah[2]: 218) secara harfiah menyebut lafadz جهد dan tidak menggunakan lafadzقتل, sebagaimana yang terdapat pada ayat-ayat Al-Qur’an, Q.S Al-Hajj(22): 39-40.

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
Ayat diatas merupakan ayat yang pertama kali turun, dimana pada ayat tersebut perintah qitalatau perangbaru diizinkan oleh Allah kepada kaum Muslimin untuk membela diri.11 Sehingga pernyataan tentang jihad pada ayat tersebut tidaklah identik dengan qital atau perang. Sebab, jihad telah diserukan Allah SWT dan telah dilaksanakan Nabi bersama kaum Muslimin sejak periode Mekkah, sementara peperangan baru diizinkan Allah SWT bagi kaum Muslimin pada periode Madinah, yakni tahun kedua setelah hijrah.12

  1. Q.S At-Taubah (9) : 24

Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”
a). Asbab An-Nuzul

Dalam suatu riwayat Al-Faryabi yang bersumber dari Ibnu Sirrin dikemukakan bahwa Ali bin Abi Thalib datang ke Makkah dan berkata kepada Al-Abbas: ”Wahai pamanku, tidaklah engkau ingin Hijrah ke Madinah untuk mengikuti Rasulullah SAW ?”. Ia menjawab: “Bukankah aku ini memakmurkan masjid dan mengurus Baitullah”. Turunnya ayat(Q.S [9]:19) berkanaan dengan peristiwa yang menegaskan perbedaan antara orang yang beriman dan berjihad di jalan Allah dengan orang-orang yang yang hanya berbuat kebaikan saja. Dan kemudian Ali berkata kepada yang lainnya dengan menyebutkan namanya satu persatu: “Tidakkah kalian ingin berhijrah mengikuti Rasulullah SAW ke Madinah?”.Mereka menjawab: “Kami tinggal disini beserta saudara-saudara dan teman-teman kami sendiri”.13Dengan peristiwa ini, maka turunlah ayat selanjutnya yakni ayat ke (24) yang menegaskan bahwa orang-orang yang lebih mencintai sanak saudara, keluarga, kawan dan kekayaannya dari pada mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, serta jihad fi Sabilillah diancam dengan azab dari Allah SWT.
b). Tafsir Mufradat

Pada ayat tersebut, kata “ahabba” terambil dari kata “hubb” yakni suka. Dimana kata tersebut mengandung arti bahwa kecintaan yang berlebih terhadap sesuatu. Sehingga mengindikasikan adanya kepentingan, kenikmatan yang bersifat duniawi saja, dan tanpa menghiraukan unsur-unsur yang lain.14
c). Tafsir Ayat
Dalam ayat ini, bertujuan untuk memperjelas larangan untuk tidak mementingkan kepentingan hubungan kekeluargaan dibandingkan dengan kepentinngan Allah SWT dan Rasul-Nya yang sebelumnya sudah terdapat pada ayat sebelumnya.
Namun disini perlu ditekankan bahwasannya, ayat ini bukan berarti melarang untuk mencintai keluarga, harta benda, jabatan, ataupun kedudukan. Betapa pun dilarang, rasa cinta ini merupakan naluri manusia itu sendiri ketika diciptakan didunia ini. Karena Allah juga berfirman didalam Q.S Ali-Imran(3): 14.

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang”.
Dalam hal ini, Allah memberikan harta-benda, orang-orang yang dikasihi, jabatan, kedudukan dan lain lain guna menciptakan rasa syukur di hati manusia dan bahwasannya hanya AllahYang Maha Esa yang mampu memberikan itu semua. Akan tetapi perlu diingat juga bahwasannya Allah SWT memberikanitu semua tidak lain agar manusia tidak lupa terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. Namun, kebanyakan dari sifat manusia itu lebih mencintai kesenangan, gemerlap kehidupan duniawi semata. Tanpa memikirkan dari siapa itu semua berasal. Dan yang pasti, kesenangan yang bersifat materi ataupun non-materi semua hanya bersifat semu(sementara).
Dan juga mengapa Allah menurunkan ayat tersebut, yakni Allah menegaskan kepada manusia bahwa apabila mereka lebih mencintai sanak keluarga, harta-benda, jabatan, kedudukan dan kehidupan duniawi belaka dari pada mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya maka Allah sangat membenci bahkan melaknat manusia tersebut di kehidupan kelak. Atau dapat dikatakan, bahwa Allah itu enggan atau tidak mau di nomor-duakan dengan yang lain.
Ayat di atas juga memerintahkan kepada kita untuk berjihad di jalan Allah. Dapat dikatakan, bentuk sarana atau cara dalam berjihad yang ada salah satunya yakni memerangi hawa nafsu yang ada pada diri manusia dan bujuk rayuan syetan.Pada hakikatnya sangat sulit untuk membedakan antara bujuk rayuan syetan dan hawa nafsu manusia. Ulama-ulama, khususnya para Sufi menekankan bahwa pada hakikatnya manusia tidak mengetahui gejolak nafsu dan bisikan hati. Kecuali bila dapat melepaskan diri dari pengaruh gejolak tersebut.15
Disisi lain juga, syetan dalam menggoda manusia dengan pelbagai cara tipu muslihat. Salah satunya yaitu dengan melalui apa-apa yang disukai manusia pada umumnya baik itu melalui harta-benda, jabatan, kedudukan dan lain sebagainya. Dengan sarana tersebut, secara tidak lansung membawa manusia untuk asyik, terbawa dan hanyut di dalam kesenangan-kesenangan duniawi. Karena syetan tidak akan pernah berhenti dan menyerah sebelum manusia tersebut masuk dan terperangkap dalam bujuk rayuannya.


Oleh karenanya, Allah SWT menurunkan ayat ini guna menjadi petunjuk bagi orang-orang yang ingin memperoleh kedudukan yang mulia dihadapan-Nya tanpa melupakan bahwasannya hanya Allah SWT dan Rasulullah SAW-lah yang patut, pantas dan harus dicintai melebihi apapun di dunia ini.
  1. Q.S At-Taubah(9): 73


Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya”

  1. Asbab An-Nuzul
Dalam ayat diatas, tidak ditemukan asbabun nuzulnya.

  1. Tafsir Mufradat


Pada ayat diatas yang pertama, yaitu: menunjukkan titah yang ditujukan kepada Nabi SAW dan seluruh umat Islam yang mengimani ajarannya. Sedangkan pada ayat selanjutnya yakni وا غلظ عليهمDan bersikap keraslah terhadap mereka”.16
Kata اغلظ yang asal katanya adalah الغلظmerupakan lawan kata dari الرٲفة yang artinya belas kasih. Makna kata الغلظadalah kekerasan hati terhadap diri seseorang untuk memecahkan suatu masalah. Kekerasan ini tidak dapat dilakukan melalui lisan saja.17 Selain itu, lawan kata dari الغلظadalah kelembutan, atau dapat juga diartikan seperti firman Allah SWT ini, Q.S Asy-Syu’araa(26): 215

Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orng-orang yang beriman”


  1. Tafsir Ayat

Ibnu Abbas menafsirkan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk berjihad memerangi orang-orang kafir dengan pedang atau senjata lainnya, sedangkan berjihad memerangi orang-orang munafik dengan lisan, hukuman berat, serta sikap keras.18
Sementara itu, Al-Hasan berkata, “Berjihad melawan orang-orang munafik dengan cara menegakkan hukum atas mereka karena memang merekalah yang paling banyak bersinggungan dengan masalah hukum”.
Dari penafsiran itu, Quraish Shihab menyimpulkan bahwasannya jihad itu dapat dilakukan dengan pelbagai cara yang sesuai.19Dalam tanda kutip, bahwa makna fi sabilillah dalam uraian tersebut tidak hanya mencangkup upaya jihad dengan senjata(pedang), akan tetapi juga dengan pena dan lidah serta cara-cara yang lain sesuai dengan situasi dan perkembangan ilmu serta tegnologi.
Ayat diatas turun pada periode Madinah, yang dimana Allah SWT baru memberikan izin umat Muslim pada waktu itu untuk berperang melawan orang-orang kafir dan munafik.
Dapat kita ketahui tujuan hakiki dalam berjihad yakni untuk menegakkan kalimat Allah SWT, seperti yang tertulis dalam firman-Nya:

Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah Telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia Berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang Tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(At-Taubah: 40)

Objek atau sasaran jihad tersebut adalah orang-orang kafir dan munafik pada zaman Nabi SAW. Orang-orang kafir dan munafik merupakan personifikasi kemungkaran. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa objek jihad adalah segala macam bentuk kemungkaran, baik yang berupa sosok pelaku maupun wujud kemungkaran itu sendiri.


Allah berfirman:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.(Q.S Ali-Imran[3]: 104)

Menyeru orang untuk berbuat benar dan melarang perbuatan mungkar merupakan suatu bentuk jihad juga. Orang Mukmin harus mengajak semua orang ke jalan Allah SWT dan ajaran-Nya yang universal. Hal itu dilakukan dengan bijaksana, dengan cara yang sesuai, meyakinkan mereka dengan contoh-contoh dari pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri yang mungkin terlalu sempit atau sebaliknya. Ajakan tersebut seyogyanya tidak terlalu dogmatik, tidak egois, tidak mendesak atau memojokkan. Akan tetapi dengan lemah lembut dan penuh pengertian.
Jihad juga dapat berbentuk memberi makan pada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir(Q.S Al-Balad[90]: 13-16), membantu orang yang dibelit hutang dan untuk membiayai jihadfi sabilillah(Q.S At-Taubah[9]: 60 ) dan lain-lain.

  1. Q.S Al-Hujurȃt(49): 15


Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar”.

  1. Asbab An-Nuzul
Ayat ini turun, ketika orang-orang arab badui bersumpah bahwa sesungguhnya mereka adalah orang –orang arab yang beriman,baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.20

  1. Tafsir Mufradat
  • الذينءامنوا
  • وجهدوا بامولهم وانفسهم

Pada poin pertama, ayat الذينءامنواmenunjukkan susunan kalimat yang ditujukan pada orang banyak atau jama’, yang dalam hal ini dimaksud adalah “orang-orang yang beriman”
Sedangkan pada poin kedua, ayatبامولهم merupakan bentuk jama’ dari kataمال (masdar) yang berarti harta, benda. Dan selanjutnya lafadz وانفسهمmerupakan bentuk jama’ yang berarti jiwa, nyawa, hati.

  1. Tafsir Ayat


Dari Ibnu Katsir, bahwasanya ayat tersebut menjelaskan tentang keimanan seseorang secara sempurna yakni tidak bimbang dan tidak pula goyah, bahkan semakin kokoh dalam suatu keadaan yaitu keimanan yang sebenarnya. Dan bentuk jihad dalam ayat tersebut yakni dengan seluruh jiwa dan harta benda untuk berbuat taat pada Allah dan mencari keridhaan Nya.
dalam tafsir al-mishbah dijelaskan tentang tafsiran ayat di atas mengenai siapa orang mukmin yang benar-benar sempurna imannya. Allah berfirman : sesungguhnya orang-orang mukmin yang sempurna imannya hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah menyakini semua sifat-Nya dan menyaksikan kebenaran Rasulullah dalam segala apa yang disampaikanya kemudian walau berlanjut masa yang berkepanjangan, hati mereka tidak disentuh oleh keraguan walau mereka mengalami aneka ujian dan bencana dan disamping sifat batiniyah itu mereka juga membuktikan kebenaran iman mereka melalui berjihad yakni berjuang membela kebenaran dengan mengorbankan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar dalam ucapan dan perbuatan mereka.21
















DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir Al-Aisar,(Jakarta: Darus Sunnah press, 2009) hlm.924
K.H. Qomarudin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), hlm. 68.
Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 11.
Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, (Beirut-Lebanon: Dar Ihya Turats Al-‘Araby, 1967), 579.
Waryono Abdul Ghafur, M.Ag, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 184
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 13, hlm. 267
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Mizan, 2007), hlm. 675.
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jild 8 hlm.




1 K.H. Qomarudin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), hlm. 68.

2 Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 11.

3 Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 11.

4 Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 12.

5 Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 13.

6 Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 13.

7 Waryono Abdul Ghafur, M.Ag, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 183.

8 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Mizan, 2007), hlm. 667.

9 Waryono Abdul Ghafur, M.Ag, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 184.

10 Waryono Abdul Ghafur, M.Ag, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 184.


11 Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 23.

12 Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag, Jihad Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 23.

13 K.H. Qomarudin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), hlm. 236.

14 Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, (Beirut-Lebanon: Dar Ihya Turats Al-‘Araby, 1967), 579.

15 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Mizan, 2007), hlm. 675.

16 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jild 8 hlm. 505.

17 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jild 8 hlm. 505.


18 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an,(Jakarta: Pustaka Azzm, 2008), jild 8 hlm. 504.


19 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 5, hlm. 654.

20 Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir Al-Aisar,(Jakarta: Darus Sunnah press, 2009) hlm.924

21 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 13, hlm. 267