Kamis, 29 Maret 2012

HADIST TENTANG ANJURAN MENIKAH”
Faila Sufatun Nisa’ (10530058)
  1. Redaksi Hadist
"مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفُ الإيْمَانِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي"
Artinya : Siapa yang menikah maka ia telah sempurna setengah keimanannya, maka takutlah kepada Allah terhadap setengah sisanya”
(HR At-Tabrani dalam Al-Ausat)
  1. Penjelasan Hadist
Hadis ini menyiratkan bahwa dengan melangsungkan pernikahan , seseorang menjaga dirinya dari kerusakan agama (akhlaknya) dapatlah disimpulkan bahwasanya yang paling merusak akhlak sesorang,pada ghalibnya , ialah perut dan kemaluannya. Oleh sebab itu.dengan pernikahan terpeliharalah salah satu penyebab utama kerusakan agamanya.
menikah juga merupakan hal yang dapat menyempurnakan keimanan seseorang,nabi bersabda dalam hadis tersebut tetang pentingnya sebuah pernikahan dalam ranah keimanan.
Dari Ibn Mas’ud ra berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنْ اسْتَطَاعَ الْبٰاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu bisa menundukkan mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu maka berpuasalah, karena puasa itu bisa menjadi kendali baginya”. (Riwayat Imam Bukhari, Kitab an-Nikah, no. Hadits: 5066).
Syarah Hadist
Hadis diatas memberikan motivasi kepada para pemuda dan pemudi untuk segera melaksanakan pernikahan jika sudah mampu secara lahir dan batinnya, dalam hadis diatas, menunujukan bahwa pernikahan dikaitkan dengan kemampuan, bagi yang belum mampu dan belum memiliki kesiapan untuk melaksanakan pernikahan maka, tidak termasuk glongan orang yang dianjurkan untuk menikah .
Menikah dalam teks hadits ini dikaitkan dengan kemampuan seseorang. Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan, atau kesiapan, dia tidak dikenai anjuran menikah. Dalam komentar Ibn Hajar (w. 852H) terhadap teks hadits ini dinyatakan, orang yang tidak mampu menikah (bersetubuh) justru disarankan untuk tidak menikah, bahkan bisa jadi menikah itu baginya menjadi makruh. Memang dalam diskursus fiqh, menikah tidak serta merta menjadi sunnah, sekalipun disebutkan dalam teks hadits di atas sebagai sesuatu yang sunnah. Menikah banyak berkaitan dengan kondisi-kondisi kesiapan mempelai dan kemampuan untuk memberikan jaminan kesejahteraan.1
Pendapat ulama' tentang hukum menikah
Para ulama' berbeda pendapat tentang hukum nikah.diantaranya adalah :
Menurut para ulama' madzhab syafi'I, nikah bukan merupakan ibadah, oleh karena itu, jika seseorang menadzarkannya, maka tidak bersifat mengikat.
ulama' madzhab hanafi menganggapnya sebagai ibadah, tetapi menurut penelitian bahwa bentuk yang disukai untuk melaksanakan nikah berkonsekuensi sebagai ibadah. Barang siapa yang menafikan unsur ibadah dalam pernikahan berarti hanya memperhatikan pernikahan itu sendiri. Sedangkan mereka yang menganggapnya sebagai ibadah memandang sisi lain dari pernikahan itu sendiri.
Imam al-Ghazali menyatakan bahwa bagi seseorang yang merasa akan memperoleh manfaat dari menikah dan terhindar dari kemungkinan penistaan dalam pernikahan, sebaiknya ia menikah. Tetapi ketika ia justru tidak akan memperoleh manfaat, atau tidak bisa menghindari kemungkinan penistaan, maka ia tidak dianjurkan untuk menikah. 2




1 Afdawaiza."hadis tentang anjuran menikah" 2011 Outline mata kuliah hadis akidah

2 Ibnu Hajar al-asqolani , Fathul Baari, (Jakarta :2008) pustaka Azzami hlm 139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar