“HADIST
TENTANG ANJURAN MENIKAH”
Faila
Sufatun Nisa’ (10530058)
- Redaksi Hadist
"مَنْ
تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفُ
الإيْمَانِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي
النِّصْفِ الْبَاقِي"
Artinya
: Siapa yang menikah
maka ia telah sempurna setengah keimanannya, maka takutlah kepada
Allah terhadap setengah sisanya”
(HR
At-Tabrani dalam Al-Ausat)
- Penjelasan Hadist
Hadis ini menyiratkan bahwa dengan melangsungkan
pernikahan , seseorang menjaga dirinya dari kerusakan agama
(akhlaknya) dapatlah disimpulkan bahwasanya yang paling merusak
akhlak sesorang,pada ghalibnya , ialah perut dan kemaluannya. Oleh
sebab itu.dengan pernikahan terpeliharalah salah satu penyebab utama
kerusakan agamanya.
menikah juga merupakan hal yang dapat menyempurnakan
keimanan seseorang,nabi bersabda dalam hadis tersebut tetang
pentingnya sebuah pernikahan dalam ranah keimanan.
Dari
Ibn Mas’ud ra berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنْ اسْتَطَاعَ
الْبٰاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ
اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ،
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai
para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang memiliki kemampuan,
maka menikahlah, karena menikah itu bisa menundukkan mata dan menjaga
kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu maka berpuasalah, karena
puasa itu bisa menjadi kendali baginya”.
(Riwayat Imam Bukhari, Kitab an-Nikah, no. Hadits: 5066).
Syarah
Hadist
Hadis
diatas memberikan motivasi kepada para pemuda dan pemudi untuk segera
melaksanakan pernikahan jika sudah mampu secara lahir dan batinnya,
dalam hadis diatas, menunujukan bahwa pernikahan dikaitkan dengan
kemampuan, bagi yang belum mampu dan belum memiliki kesiapan untuk
melaksanakan pernikahan maka, tidak termasuk glongan orang yang
dianjurkan untuk menikah .
Menikah dalam teks hadits ini
dikaitkan dengan kemampuan seseorang. Bagi orang yang tidak memiliki
kemampuan, atau kesiapan, dia tidak dikenai anjuran menikah. Dalam
komentar Ibn Hajar (w. 852H) terhadap teks hadits ini dinyatakan,
orang yang tidak mampu menikah (bersetubuh) justru disarankan untuk
tidak menikah, bahkan bisa jadi menikah itu baginya menjadi makruh.
Memang dalam diskursus fiqh, menikah tidak serta merta menjadi
sunnah, sekalipun disebutkan dalam teks hadits di atas sebagai
sesuatu yang sunnah. Menikah
banyak berkaitan dengan kondisi-kondisi kesiapan mempelai dan
kemampuan untuk memberikan jaminan kesejahteraan.1
Pendapat
ulama' tentang hukum menikah
Para
ulama' berbeda pendapat tentang hukum nikah.diantaranya adalah :
Menurut
para ulama' madzhab syafi'I, nikah bukan
merupakan ibadah, oleh karena itu, jika seseorang menadzarkannya,
maka tidak bersifat mengikat.
ulama'
madzhab hanafi menganggapnya sebagai ibadah,
tetapi menurut penelitian bahwa bentuk yang disukai untuk
melaksanakan nikah berkonsekuensi sebagai ibadah. Barang siapa yang
menafikan unsur ibadah dalam pernikahan berarti hanya memperhatikan
pernikahan itu sendiri. Sedangkan mereka yang menganggapnya sebagai
ibadah memandang sisi lain dari pernikahan itu sendiri.
Imam
al-Ghazali
menyatakan bahwa bagi seseorang yang merasa akan memperoleh manfaat
dari menikah dan terhindar dari kemungkinan penistaan dalam
pernikahan, sebaiknya ia menikah. Tetapi ketika ia justru tidak akan
memperoleh manfaat, atau tidak bisa menghindari kemungkinan
penistaan, maka ia tidak dianjurkan untuk menikah. 2
1
Afdawaiza."hadis tentang anjuran menikah" 2011 Outline
mata kuliah hadis akidah
2
Ibnu Hajar al-asqolani , Fathul Baari, (Jakarta :2008)
pustaka Azzami hlm 139
Tidak ada komentar:
Posting Komentar